tag:blogger.com,1999:blog-73381902024-03-13T10:24:31.763+08:00'Sarapan Ekonomi,Rasyad Parinduri's op-ed piecesRasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comBlogger57125tag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1109900851243707692005-03-04T09:36:00.000+08:002013-10-21T14:10:52.046+08:00Mengakali pemotongan subsidi<a href="http://koran.tempo.co/konten/2005/03/05/34987/Mengakali-Pemotongan-Subsidi-BBM">Koran Tempo 04/03/2005</a>. Orang berakal sehat mestinya tak menentang. Kalau kemudian pemotongan subsidi BBM menuai protes, itu karena rasa keadilan masyarakat terusik, atau alasan pemerintah terkesan akal-akalan. <br />
<br />
Mungkin Mat Solar dan Bolot terdengar sinis, tapi sulit mendebat mereka. Esensi pesan mereka benar. Setiap tahun triliunan rupiah uang pemerintah terbuang lewat knalpot sedan yang berseliweran di kota-kota. Apa tak lebih baik kalau uang itu dialihkan untuk membiayai pengobatan si miskin atau untuk membayar SPP anak tak mampu? <br />
<br />
Mengutip Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, subsidi BBM salah sasaran. Katanya, 20 persen orang terkaya menikmati 50 sen dari setiap rupiah subsidi minyak, sementara 10 persen orang termiskin hanya menikmati 6 sen. <br />
<br />
Besarnya pun tak main-main. Kalau harga minyak dunia tak turun, beban subsidi bisa mencapai Rp 70 triliun lebih. Itu uang yang sangat banyak--hampir dua kali lipat biaya pembangunan kembali Aceh atau lebih dari seluruh dana pembangunan kesehatan dan pendidikan tahun ini. Kalau harga minyak dalam negeri tak dinaikkan, dengan anggaran subsidi minyak tahun ini yang Rp 19 triliun, pemerintah tekor.<br />
<br />
Masalahnya, ini baru separuh kebenaran. Pemerintah tidak mengatakan, karena harga minyak dunia meroket, pemerintah juga menerima rezeki tambahan penerimaan dari ekspor minyak bumi. Jadi, sebenarnya, sekalipun kita sekarang negara pengimpor bersih, tambahan beban akibat kenaikan harga minyak dunia tak separah yang dikesankan pemerintah.<br />
<span class="fullpost"><br />Betul bahwa sebagian tambahan penerimaan itu dibagi dengan pemerintah daerah dan beban subsidi minyak seluruhnya ditanggung pemerintah pusat. Tapi, ketika menghadapi kesulitan bersama, apa tak mungkin kita mencari jalan tengah yang terbaik buat semua? <br /><br />Entah mengapa, pemerintah mengkambinghitamkan subsidi minyak sebagai biang kerok defisit anggaran. Padahal, seperti sering dikatakan kelompok antiutang, penyelamatan bank-bank yang bangkrut pada krisis ekonomi pada 1998-lah penyebab menggelembungnya utang pemerintah dan membengkaknya defisit anggaran. <br /><br />Waktu itu, di samping berutang ke IMF, pemerintah menulis surat utang ratusan triliun dan menukarnya dengan saham perbankan yang kemudian dijual murah. Nilai surat utang itu terlalu besar sehingga tak hanya mengapungkan bank yang megap-megap, tapi juga membuat mereka kelebihan modal. Tinggallah pemerintah yang setiap tahunnya membayar bunga obligasi rekap Rp 40 triliun lebih. <br /><br />Kalau dulu pemerintah menyulap bank sakit jadi sehat hanya dengan secarik kertas, kenapa sekarang pemerintah tak bisa menyelamatkan anggarannya yang sakit dengan secarik kertas juga? Mengapa pemerintah tak boleh memoles laporan keuangan bank yang kelebihan modal sehingga pemerintah tak terbebani beban bunga yang berat? <br /><br />Okelah, bisa dimengerti kalau sekarang rekayasa keuangan seperti ini sulit dilakukan, tak semudah dua-tiga tahun lalu ketika pemerintah masih menguasai hampir semua bank. Tapi, kalau pemerintah mau mencoba, kemungkinannya bukan tak ada. <br /><br />Di samping itu, dengan rasio pajak terhadap ekonomi paling rendah di Asia Tenggara dan hanya 2 juta wajib pajak dari 200 juta penduduk, peluang peningkatan pajak untuk menutupi tambahan pengeluaran sangat besar. Pemerintah juga bisa mengenakan pajak minyak pada pemilik mobil pribadi dan generator listrik swasta untuk menutupi sebagian beban subsidi. <br /><br />Sayangnya, pemerintah diam saja. Obligasi rekap tak disentuh, tawaran penangguhan pembayaran utang dari negara maju pun ditanggapi dingin, dan pajak minyak tak dipertimbangkan. Malah harga minyak dalam negeri yang dinaikkan. <br /><br />Jangan salahkan kalau kemudian orang mengeluh bahwa pemerintah lebih berpihak pada konglomerat perusak ekonomi daripada rakyat kecil. Memang ini keluhan yang sarat emosi. Tapi, kalau dilihat lebih cermat, ada kebenaran di dalamnya. <br /><br />Untuk mengurangi beban rakyat pemerintah hanya menjanjikan program kompensasi. Sepuluh juta anak bebas SPP, sembilan juta orang kebagian beras murah, 36 juta orang bebas berobat, dan di 27 ribu desa dibangun jalan-jembatan. Dengan tambahan dana bantuan senilai Rp 10 triliun, katanya, angka kemiskinan turun dari 16 ke 13 persen. <br /><br />Bagus sekali. Tapi bagaimana pelaksanaannya? Kapan dimulai? Apakah data penerima bantuan akurat? Belum apa-apa, Sri Mulyani mengakui mungkin tak semua dana kompensasi itu tersalurkan tahun ini. <br /><br />Apalagi sekarang harga beras dan gula serta ongkos angkutan sudah naik belasan atau bahkan puluhan persen. Pemerintah boleh bilang inflasi umum naik hanya 1-2 persen. Masalahnya, banyak orang yang pola pengeluarannya berbeda dengan keranjang belanja Badan Pusat Statistik. Biaya hidup buruh dan pegawai negeri rendahan di perkotaan, misalnya, mungkin bertambah belasan persen sementara gaji mereka kecil kemungkinan naiknya. <br /><br />Sekalipun begitu, bukan berarti pemerintah tak perlu menaikkan harga minyak. Tak mungkin mempertahankan harga minyak serendah sekarang, seperempat harga bensin di Singapura atau setengah di Thailand. Tak masuk akal kalau seliter bensin lebih murah dari sebotol Aqua. Kita belum bicara penyelundupan, akibatnya pada pemborosan minyak, atau polusi udara. <br /><br />Kritik kita adalah mengapa hanya jalan pintas pemotongan subsidi yang diambil. Mengapa cara lain tak dicoba? Dan mengapa kenaikannya langsung 29 persen, bukan secara bertahap 10-20 persen selama lima tahun mendatang? <br /><br />Di negara mana pun, kejutan kenaikan harga 29 persen pada ekonomi sangat besar. Ibaratnya, mobil ekonomi Indonesia baru meluncur tancap gas, tiba-tiba di hadapannya batu-batu besar ditebarkan. Mau tak mau pelaku ekonomi terpaksa mengerem mendadak dan ekonomi yang tahun ini sebenarnya bisa tumbuh 6 persen mungkin melambat. <br /><br />Apalagi respons Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tak bisa diharapkan. BI sudah khawatir target inflasi meleset dan berancang-ancang menaikkan suku bunga SBI. Suku bunga kredit bisa kembali naik dan investasi yang baru tumbuh mungkin terhambat. <br /><br />Menteri Keuangan kita yang antidefisit ingin segera mencapai anggaran berimbang, sekalipun ongkosnya angka pengangguran yang tinggi. Padahal apa salahnya defisit sedikit lebih tinggi untuk sementara? Bukannya kita mau berfoya-foya membangun proyek mercusuar, karena terpaksa saja ingin menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah hantaman kenaikan harga minyak dunia. <br /><br />Singkatnya, pemotongan subsidi minyak bukan masalah ekonomi semata, tapi juga masalah rasa keadilan masyarakat. Dari kacamata ekonomi pun, subsidi minyak seharusnya bisa dikurangi secara bertahap sehingga dampak buruknya minimal, juga bisa dijelaskan lebih jujur sehingga tak memancing kecaman. <br /><br />Sekarang harga minyak telanjur dinaikkan. Tugas pemerintah meminimalkan tanggungan rakyat. Kalau boleh meminta, jangan abaikan rasa keadilan masyarakat. Tunjukkan bahwa pemerintah berusaha keras. Ini satu-satunya pilihan waras saat ini.* </span>Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1105669307966258542005-01-14T10:13:00.000+08:002013-10-21T14:12:25.076+08:00Tsunami, utang, dan korupsi<a href="http://koran.tempo.co/konten/2005/01/15/31338/Tsunami-Utang-dan-Korupsi">Koran Tempo 14/01/2005</a>. Tsunami Aceh mengajak kita berkaca, membasuh wajah yang sekian lama tercoreng utang dan korupsi. <br />
<br />
Sebab, tsunami adalah ketakberdayaan. Gelombang laut raksasa menyapu pesisir barat Aceh; menerjang rumah, jalan, dan jembatan; menenggelamkan puluhan ribu orang dalam lumpur, menyeretnya ke laut, dan mengempaskannya ke pantai tiga-empat hari kemudian. Seminggu kemudian, mayat-mayat masih terbaring di pinggir jalan dan di bawah reruntuhan. Jutaan orang kehilangan tempat tinggal atau mungkin segalanya. Entah berapa anak yang selamat untuk jadi yatim piatu. <br />
<br />
Dahsyat dan memilukan. Sekalipun begitu, katanya, ekonomi Indonesia 2005 tak akan terganggu. Maklum, Aceh hanya sekitar dua persen dari ekonomi Indonesia. Lagi pula produksi minyak dan gas, industri terpenting di Aceh, berjalan lancar. <br />
<br />
Mungkin benar. Indonesia sangat luas dan hanya Aceh serta sebagian Sumatera Utara yang terkena tsunami. Tapi jangan salah lihat gambar. Korban tewas dan hilang lebih dari seratus ribu orang. Pesisir barat Aceh hancur lebur, kembali ke titik nol. Kerusakannya mungkin lebih parah dari Irak pascakejatuhan Saddam atau seperti Jerman pasca-Perang Dunia Kedua. <br />
<br />
<img height="300" src="http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/29/sm1tsunami29.jpg" width="400" /> <span style="font-size: xx-small;">Meulaboh, 28 Desember 2004 © <a href="http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/29/nas01.htm">Suara Merdeka</a></span><br />
<br />
Konsekuensinya hanya satu: penyelamatan korban dan pembangunan kembali Aceh berat dan mahal. Awalnya Wakil Presiden Jusuf Kalla memperkirakan perlu Rp 10 triliun yang kemudian dia revisi jadi Rp 20 triliun untuk rekonstruksi Aceh. Ini baru hitungan kasar--biayanya mungkin sekali membengkak lagi. <span class="fullpost"><br /><br />Masalahnya, pemerintah tak punya uang. Anggaran pemerintah terbebani utang yang sangat besar. Jangankan membangun kembali Aceh, memperbaiki gedung sekolah dan memberantas penyakit menular saja dananya terbatas. <br /><br />Ironis, sebab utang itu adalah kesialan. Pascaresesi 1998, banyak bank yang bangkrut, bukan hanya karena bankir tak hati-hati meminjam dolar dan ugal-ugalan menyalurkan kredit, tapi juga karena kebijakan tarik-ulur pemerintah memenuhi saran Dana Moneter Internasional (IMF). Atas saran IMF juga pemerintah menyelamatkan bank-bank itu. Akibatnya, utang pemerintah melonjak hingga lebih dari produk domestik bruto (PDB), lebih besar dari seluruh pendapatan semua orang Indonesia dari petani sampai presiden selama setahun. Karena mematuhi resep salahnya IMF, kita terbebani utang yang begitu besar. <br /><br />Lima tahun berlalu, sekarang utang pemerintah 60 persen dari PDB--prestasi yang dipuji-puji IMF, Bank Dunia, dan lembaga pemeringkat seperti Standard & Poor's dan Moody. <br /><br />Prestasi yang kita bayar mahal. Untuk membayar utang, pemerintah membatasi pembangunan sekolah, jalan, dan jembatan atau pemberantasan penyakit menular. Subsidi minyak dan listrik dipotong, begitu juga subsidi pupuk. Tahun ini, misalnya, investasi pemerintah dianggarkan naik delapan persen dibandingkan dengan 2004. Tapi, dengan inflasi 2005 yang cenderung meningkat, investasi pemerintah itu secara riil praktis tak berubah, untuk tidak dikatakan turun. <br /><br />Tahun ini saja pemerintah seharusnya membayar cicilan dan bunga utang Rp 72 triliun. Jumlah yang sangat besar: tiga kali anggaran pembangunan sekolah, sebelas kali pembangunan kesehatan, menghabiskan seperempat penerimaan pajak. <br /><br />Selama lima tahun terakhir, pemerintah terpaku menurunkan defisit anggaran. Akibatnya, anggaran ketat tanpa stimulus tak mampu mendorong pertumbuhan; angka pengangguran meningkat ke 10 persen, dua kali lipat dibanding prakrisis. <br /><br />Syukurlah, bantuan mengalir deras. Dunia bersimpati pada penderitaan korban tsunami Asia. Bantuan dunia mencapai US$ 4 miliar--setengahnya dalam bentuk hibah. <br /><br />Negara-negara kreditor kita juga menawarkan moratorium (penangguhan pembayaran) utang. Menurut berita terakhir dari pertemuan Paris Club, pada 2005 ini Indonesia mendapat moratorium US$ 3 miliar. Kabarnya, Inggris dan Jerman mungkin memotong utang. <br /><br />Memang seharusnya pemerintah mengupayakan lebih dari sekadar moratorium. Utang dari Bank Dunia untuk membiayai pembangunan di Aceh yang rusak parah akibat tsunami mungkin sekali dikurangi. Setidaknya pembayaran utang itu bisa dijadwalkan kembali. <br /><br />Lebih jauh lagi, pemerintah perlu mengusahakan penghapusan sebagian utang. Krisis ekonomi 1998 bukan hanya karena kesalahan pemerintah, tapi juga kesalahan IMF. Jadi sebagian utang pemerintah untuk menyelamatkan bank yang bangkrut bukan sepenuhnya tanggung jawab kita. Belum lagi "utang najis" yang diselewengkan sewaktu pemerintahan Soeharto yang diakui juga oleh Bank Dunia. Sudah sepantasnya kalau IMF dan Bank Dunia menanggung sebagian beban utang pemerintah yang sangat besar itu. <br /><br />Sebagai langkah pertamanya, kita perlu sungguh-sungguh memberantas korupsi. Tunjukkan kepada dunia bahwa pemerintah sekarang bersih, tidak seperti pemerintah korup dulu; jelaskan kepada dunia bahwa rakyat kecillah yang membayar kesalahan resep IMF dan "utang najis" Bank Dunia sewaktu pemerintahan Soeharto. <br /><br />Sebab korupsi adalah penyakit. Kita jatuh ke jurang krisis karenanya. Setelah era reformasi pun, penyakit ini tak kunjung sembuh. Dari tahun ke tahun, kita selalu jadi salah satu negara paling korup sedunia. <br /><br />Setelah tsunami Aceh, pemberantasan korupsi tak bisa ditawar lagi. Kalau korupsi merajalela, bagaimana menjamin bantuan asing untuk pembangunan kembali Aceh tidak diselewengkan? Bagaimana moratorium utang yang diberikan kreditor sebagai unjuk keprihatinan kepada bencana tsunami Aceh dimanfaatkan pemerintah untuk pembangunan pendidikan, kesehatan publik, dan pemberantasan kemiskinan? Jangan-jangan nanti pemerintah justru berleha-leha karena anggaran untuk satu-dua tahun ke depan aman berkat tsunami Aceh. <br /><br />Harga diri dan nama baik bangsa dipertaruhkan. Kalau bantuan untuk Aceh diselewengkan juga, ke mana kita menyembunyikan wajah? <br /><br />Tsunami adalah cermin. Mari bantu Aceh berbenah diri. Dunia mengamati kita. </span>Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1104417135461570742004-12-30T22:31:00.000+08:002013-10-21T14:14:25.410+08:00Tahun lepas landas?<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/12/01/30307/Tahun-Lepas-Landas">Koran Tempo 30/12/2004</a>. Bagaimana prospek ekonomi 2005? Google saja. Ketikkan kata kunci dan dalam sekejap hasilnya terangkum: lebih cerah, menjanjikan, membaik. <br />
<br />
Sulit dipercaya, tapi akhirnya berhenti sudah ritual kor prediksi suram setiap akhir tahun; hilang sudah peringatan ketidakberlanjutan fiskal atau mimpi buruk resesi jilid kedua. Untuk pertama kalinya sejak krisis 1998, pejabat, ekonom, IMF, dan Bank Dunia sepakat menyanyikan lagu ceria. <br />
<br />
Tentu saja hal ini menggembirakan. Tapi lebih cerah dibandingkan dengan apa? Dan untuk siapa? <span class="fullpost"> <br /><br />Pemerintah mentargetkan, dan banyak ekonom menyepakati, ekonomi 2005 tumbuh 5,5 persen. Dibandingkan dengan pertumbuhan 3-4 persen beberapa tahun terakhir, target ini bagus sekali. Tapi, dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan tahun 2004 yang 5 persen lebih, apakah target 5,5 persen tahun depan mengesankan? </span><br />
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost">Saya kira tidak. Ibaratnya, ekonomi Indonesia seperti batu yang sedang menggelinding. Awalnya, ekonomi tumbuh perlahan 3-4 persen, sekarang 5 persen lebih. Momentum pertumbuhannya besar. Tak ada dinding menghadang. Batu mengganjal pun tidak. <br /><br />Pemilihan umum sukses, Susilo Bambang Yudhoyono menang mutlak, dan sekarang Golkar pun di tangan. Seperti ditunjukkan berbagai survei, konsumen dan pengusaha kembali bergairah. Kredit perbankan mengalir, investasi bangkit, ekspor pun meningkat. Kalau ada batu kerikil, paling kenaikan harga minyak dunia. Tanpa diapa-apakan pun, ekonomi 2005 bisa tumbuh 5,5 persen. <br /><br />Saya heran, mengapa pemerintah enggan mentargetkan pertumbuhan lebih tinggi. Sepertinya pemerintah cari amannya saja: pasang target sesuai dengan tren, waktu berjalan, dan akhir tahun target tercapai. Syukur-syukur kalau target terlampaui. <br /><br />Megawati sendiri mengakui dalam pidato kenegaraannya di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada Agustus lalu, target pertumbuhan 2005 tidak cukup mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakri juga mengiyakan. Lalu mengapa target pemerintah hanya 5,5 persen? <br /><br />Barangkali ini mengindikasikan prioritas pemerintah SBY ternyata sama saja dengan Megawati: stabilitas, stabilitas, dan stabilitas. Fokus utama pemerintah adalah anggaran berimbang dan inflasi rendah. Kalau ekonomi tumbuh perlahan dan pengangguran meningkat, apa mau dikata. Bersabarlah dua atau tiga tahun lagi, ekonomi akan tumbuh 6-7 persen dan angka pengangguran akan turun. <br /><br />Ini kontras sekali dengan ingar-bingar kampanye pemilihan presiden dulu. Teringat jelas janji SBY yang mengutamakan pertumbuhan untuk mengatasi masalah pengangguran. Juga disertasinya yang menyimpulkan peran penting pembangunan jalan, jembatan, dan irigasi untuk membangkitkan ekonomi pedesaan. <br /><br />Sedihnya, ekonomi bisa jadi korban prediksi pelaku ekonominya sendiri (self-fulfilling prophecy). Target pemerintah menentukan rencana penerimaan dan belanja negara. Rencana ini tentu diupayakan jadi kenyataan. Sebagai pelaku ekonomi terbesar, 15-20 persen dari produk domestik bruto, dampak rencana pemerintah yang jadi kenyataan ini pada pertumbuhan sangat besar. Pemerintah memangkas belanja, ekonomi bisa tumbuh perlahan. Pemerintah memompa pengeluaran, ekonomi mungkin tumbuh lebih tinggi. <br /><br />Apalagi kalau kemudian pengusaha menjadikan target pemerintah ini sebagai dasar ekspansi usaha mereka pada 2005. Akhirnya ramalan bisa jadi kenyataan, dan ekonomi 2005 benar-benar tumbuh 5,5 persen. <br /><br />Bicara pengangguran, mari kembali ke pertanyaan kedua: ekonomi 2005 cerah untuk siapa? <br /><br />Untuk kelompok berpendapatan menengah seperti Anda dan saya, pertumbuhan 5,5 persen bolehlah. Tapi apakah sepuluh juta penganggur puas? Sudah kita lihat, ketika ekonomi tumbuh 3-4 persen, atau bahkan 5 persen seperti tahun ini, angka pengangguran terus meningkat. Sejak prakrisis, hampir dua kali lipat. <br /><br />Kalau ekonomi 2005 tumbuh 5,5 persen, lapangan kerja yang tercipta paling hanya cukup menyerap angkatan kerja baru. Lalu bagaimana dengan sepuluh juta penganggur saat ini? Bagaimana dengan puluhan juta setengah-penganggur yang antara bekerja dan tidak? Maukah mereka bersabar dua sampai tiga tahun lagi? Apakah mereka peduli pada potret moneter yang berkilauan atau indeks saham menembus seribu? <br /><br />Saya bukan mau mengesankan pertumbuhan 5,5 persen buruk. Bukan. Lima setengah persen bagus. Masalahnya, kita perlu, dan mampu, tumbuh lebih tinggi. Dengan momentum 5 persen lebih tahun ini, pertumbuhan 6 persen tahun depan dalam jangkauan. <br /><br />Syaratnya, pemerintah merevisi RAPBN 2005, mentargetkan pertumbuhan 6 persen, menggali sumber penerimaan lebih dalam, mengelola utang (kalau perlu dengan rekayasa keuangan), mengupayakan pengurangan utang, dan membelanjakannya terutama untuk pembangunan sekolah, kesehatan, jalan, jembatan, dan irigasi.<br /><br />Kalau defisit anggaran perlu 1,5 persen dari PDB, mengapa tidak? Kalau inflasi naik kembali ke 7 atau 8 persen, mengapa buru-buru mengerem kebijakan moneter? <br /><br />Sayangnya, pemerintah sudah berketetapan hati. Sekalipun begitu, jangan putus asa. Bukan rahasia kalau ramalan ekonom sering meleset. Target pertumbuhan pemerintah juga. Tahun ini, misalnya, target pertumbuhan 4,8 persen, ternyata ekonomi diperkirakan tumbuh 5 persen lebih. <br /><br />Ramalan ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) dan IMF pun sering salah. Akhir tahun lalu, ADB, misalnya, meramalkan ekonomi 2004 tumbuh hanya 4,5 persen. Pertengahan tahun, ramalan ini direvisi menjadi 4,8 persen. Sekarang kita tahu ekonomi 2004 bisa tumbuh 5 persen lebih. Ibarat menembak terarah ke jantung, lengan yang kena.<br /><br />Meramal masa depan memang bukan pekerjaan gampang. Memperkirakan titik balik ekonomi--kapan resesi menyerang dan kapan ekonomi lepas landas--lebih sulit lagi. Siapa yang menduga ekonomi Indonesia terpangkas 13 persen pada 1998? Siapa yang dulu yakin ekonomi 2004 bisa tumbuh 5 persen lebih? <br /><br />Ketika ekonomi sedang jatuh resesi atau bangkit pulih kembali, ekonom biasanya dapat memperkirakan pertumbuhan secara akurat hanya untuk satu atau dua kuartal ke depan. Perkiraan tahunan hampir selalu luput. <br /><br />Jadi, tetaplah optimistis. Tiuplah trompet tahun baru dengan sejuta harapan baru. April atau Mei nanti, mainkan lagi Google dan cari "prospek ekonomi 2005". Siapa tahu para ekonom, dan pemerintah, merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi ke 6 persen atau bahkan lebih. </span>Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103703849498255452004-12-13T16:22:00.000+08:002013-10-21T14:15:32.657+08:00Selera ekonomi<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/12/14/29137/Selera-Ekonomi">Koran Tempo 13/12/2004</a>. "Soal ekonomi adalah soal memilih," tulis Prof. Sadli di halaman ini Senin lalu.<br />
<br />
Sepakat. Urusan ekonomi biasanya bukan soal benar atau salah. Contoh sederhananya, karena uang jajan terbatas, si Upik harus memilih makan apa sewaktu jeda di kantin sekolah. Tak bisa disalahkan kalau kemudian dia sering makan bakso. Maklum, doyan. Sama tak salahnya dengan si Ucok yang biasa nongkrong di warung batagor Mang Ujo.<br />
<br />
Masalah ekonomi negara tentu tak sesederhana itu, tapi intinya sama saja: selera pemerintah sering mendikte pilihan kebijakan. <span class="fullpost"> <br /><br />Sebagian ekonom mendewakan inflasi rendah dan anggaran berimbang. Sekali menjabat menteri atau gubernur bank sentral, mereka tak ragu menurunkan inflasi dan defisit secara drastis. Kalau kemudian ekonomi tumbuh perlahan dan penganggur bertambah, apa boleh buat. Itu dampak sampingannya, tak terelakkan.<br /><br />Ekonom lain mementingkan penciptaan lapangan kerja. Inflasi rendah dan anggaran berimbang tentu bagus, teramat bagus. Tapi, ketika 10 juta orang menganggur dan hampir 40 juta orang hidup miskin, penurunan inflasi dan defisit anggaran bolehlah ditunda sementara. Kalaupun mau diturunkan, secara bertahap saja, dalam lima sampai sepuluh tahun.<br /><br />Seperti si Upik di kantin sekolah, pemerintah harus memilih: potret moneter yang berkilau atau pertumbuhan tinggi. Kalau ingin menurunkan defisit anggaran dan inflasi secara drastis, jangan bermimpi ekonomi yang terseok-seok tiba-tiba berlari kencang.</span><br />
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost">Pertanyaan kuncinya adalah sejalankah selera pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dan selera rakyat.<br /><br />SBY berjanji mengutamakan penciptaan lapangan kerja. Kata dia, dalam lima tahun ke depan, ekonomi harus tumbuh rata-rata 6,6 persen per tahun dan angka pengangguran yang sekitar 10 persen turun ke 5 persen. Angka kemiskinan juga hendak dipangkas.<br /><br />Target ambisius, kata orang. Mungkin saja, tapi tak mustahil kalau pemerintah SBY kreatif dan bekerja keras. Yang pasti, kalau tuduhan itu benar, para penganggur dan orang miskin hanya bisa berharap kepada presiden seambisius SBY. Presiden yang membiarkan ekonomi tumbuh 4-5 persen per tahun tak membantu mereka. <br /><br />Ibaratnya, inflasi rendah dan anggaran berimbang menempatkan kita di rumah mentereng. Bagus sekali. Masalahnya, di dalamnya puluhan juta orang hidup miskin dan jutaan di antaranya luntang-lantung cari kerja. <br /><br />Bagaimana selera anggaran SBY? Kalau diperlukan untuk menstimulus ekonomi, dia tak keberatan defisit anggaran lebih tinggi. Saya kira, ini melegakan. Toh, undang-undang membolehkan defisit sampai 3 persen PDB. Apalagi defisit 1-2 persen tampaknya mencukupi dan tidak sampai membahayakan keberlanjutan fiskal. Setidaknya defisit anggaran tidak dipaksa nol dalam satu-dua tahun ini. Pengunduran target anggaran berimbang ke 2009 juga lebih masuk akal. Pada saat yang sama, pemerintah akan lebih bebas bergerak untuk membiayai pembangunan ketika ekonomi tumbuh perlahan. <br /><br />Bagaimana dengan selera inflasi Bank Indonesia? Kata gubernurnya, Burhanuddin Abdullah, inflasi tahun depan mungkin masih 6-7 persen, tak berbeda dengan tahun ini. Penurunan inflasi ke 3 persen tetap diusahakan, tapi tidak dalam waktu dekat ini. <br /><br />Namun, kebijakan BI bergantung pada kesepakatan target inflasi dengan pemerintah SBY. Apakah pemerintah SBY mempertahankan target penurunan inflasi ke 3 persen dalam jangka menengah? Ataukah merevisinya sehingga kebijakan moneter lebih luwes, membolehkan inflasi turun perlahan dalam 5-10 tahun kalau penurunan drastis inflasi mengganggu pertumbuhan ekonomi? <br /><br />Lalu bagaimana mendorong investasi? Infrastruktur, jawab SBY. Dia pun jualan Indonesian Infrastructure Fund ke negara-negara ASEAN di Vientiane dan beberapa negara APEC di Santiago. Bulan depan, pemodal akan diundang ke Infrastructure Summit di Jakarta. <br /><br />Jalan tol saja rencananya akan dibangun 1.500 kilometer dalam tiga tahun mendatang. Belum lagi proyek pembangkit tenaga listrik, telekomunikasi, bandar udara, pelabuhan, serta jalan raya dan irigasi di pedesaan. Dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia sekalipun, infrastruktur kita jauh tertinggal. Artinya, begitu luas kesempatan kita membangun infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. <br /><br />Mendengar semua ini sungguh menggairahkan. Sudah lama angin optimisme ekonomi berhenti berembus, dan sekarang kita menikmati desirannya lagi. Sekali lagi, kelihatannya ambisius, tapi tak mustahil. Malaysia dan Cina mampu membangun infrastruktur secara besar-besaran, mengapa kita tidak? <br /><br />Konsumen dan pengusaha pun makin yakin pada prospek ekonomi. Indeks kepercayaan konsumen Danareksa Research Institute, misalnya, mencapai tingkat tertinggi dalam tiga tahun terakhir Oktober lalu. Indeks tendensi bisnis Badan Pusat Statistik pun mengiyakan: persepsi pengusaha pada prospek bisnis triwulan ketiga dan keempat tahun ini sangat positif dan terus membaik. <br /><br />Sekarang semuanya berpulang pada tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu. Musik optimisme ekonomi telah mengalun, SBY dan Kalla pun menari penuh semangat. Akankah Menteri Keuangan dan Gubernur BI ikut melantai, mengiringi tarian optimisme ekonomi SBY? <br /><br />Menteri Keuangan Jusuf Anwar tampaknya sejalan dengan pendahulunya, Boediono. Diwawancarai wartawan ketika baru saja terpilih September lalu, dia mengatakan bahwa fokus kebijakannya adalah penurunan defisit anggaran. Masalah pengangguran tak disinggung. Burhanuddin Abdullah tampaknya lebih luwes. Hanya, kalau pemerintah SBY tidak melonggarkan target inflasi jangka menengah, BI mau tak mau akan mengetatkan kebijakan moneter jika kenaikan harga minyak memicu inflasi atau rupiah kembali melemah. <br /><br />Jadi pilih "inflasi rendah dan anggaran berimbang" atau "pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja"? <br /><br />Mungkin ini pilihan sulit bagi tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu atau ekonom konservatif seperti Prof. Sadli. Akankah tim ekonomi memilih kebijakan yang hanya memuaskan selera mereka? Apakah mereka berani mengecewakan pemilih SBY-Kalla yang tidak puas hanya dengan potret moneter mengkilap sewaktu pemerintahan Megawati? Apakah mereka tega mengabaikan selera puluhan juta orang miskin dan jutaan penganggur di negeri ini? <br /><br />Atau, lebih penting lagi, apakah SBY-Kalla berdiam diri kalau para pembantunya tak mendukung rencana besar dan optimisme ekonominya? <br /><br />Moga-moga saja tidak. </span>Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103767412061285822004-10-08T09:58:00.000+08:002013-10-21T14:40:44.209+08:00Presiden perubahan?<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/10/09/24277/Presiden-Perubahan">Koran Tempo 08/10/2004</a>. Jadi, Susilo Bambang Yudhoyonolah presiden baru kita. Mampukah dia menyajikan perubahan yang dituntut rakyat pemilihnya? Akankah mereka kembali dikecewakan? Ke mana SBY membawa ekonomi Indonesia selama lima tahun mendatang? <br />
<br />
Ini pertanyaan penting--masalah penting bagi orang miskin di kampung-kampung seantero negeri, urusan hidup-mati bagi pengangguran yang selalu menyerbu bursa tenaga kerja, dan isu krusial bagi pengusaha yang sedang bangkit berlari. <br />
<br />
Pengamat mengatakan, program ekonomi SBY dan Megawati tak akan jauh beda. Kalau mereka benar, stabilitas makroekonomi tetap jadi tujuan utama. Pemerintahan SBY akan menyeimbangkan anggaran: defisit anggaran terus diturunkan, kalau perlu dengan memotong belanja pemerintah. Bank Indonesia pun akan diminta untuk memangkas inflasi dengan memperketat kebijakan moneter. <br />
<br />
Lalu, bagaimana kalau pertumbuhan ekonomi rendah dan angka pengangguran meningkat? Itu urusan belakangan. <br />
<br />
Tetapi, benarkah begitu? <span class="fullpost"> <br /><br />Yang pasti, bukan SBY seperti ini yang diinginkan pemilih. Potret makroekonomi yang berkilau mungkin membanggakan, tetapi apa artinya kalau Anda kelaparan? Itu tidak ada artinya bagi rakyat yang hidup pas-pasan, tidak juga bagi para penganggur. <br /><br />Bagaimana persisnya kebijakan ekonomi SBY hanya bisa kita ketahui setelah dia memerintah. Namun, sedikit-banyak, kita bisa menduga-duga wajah SBY yang sebenarnya. <br /><br />Akhir pekan lalu di kampus Institut Pertanian Bogor, kita dengar SBY "berkampanye", bukan di depan massa pendukungnya, tetapi di hadapan sekelompok dosen penguji. SBY berhasil mempertahankan disertasi doktornya. Tentang apa? Kata kunci disertasinya banyak bercerita tentang petani, pedesaan, kemiskinan, pengangguran, upah, infrastruktur, dan kebijakan fiskal. <br /><br />SBY menyimpulkan, kebijakan fiskal, dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan irigasi, bisa membangkitkan ekonomi pedesaan. Kalau ekonomi pedesaan berkembang, pengangguran dan kemiskinan pun bisa dikurangi. <br /><br />SBY juga tak segan bicara tentang masalah ekonomi Indonesia. Di majalah The Economist dua pekan lalu dengan gamblang dia bercerita bahwa ekonomi Indonesia belum pulih karena iklim berusaha buruk. Sebut saja maraknya mogok kerja yang menaikkan biaya tenaga kerja dan menurunkan produktivitas. Di samping itu, katanya, desentralisasi memicu kesimpangsiuran peraturan pemerintah pusat dan daerah. Belum lagi soal bank yang enggan menyalurkan kredit dan investasi asing yang belum pulih kembali. <br /><br />Semua ini tentu tak mengindikasikan seberapa penting stabilisasi makroekonomi bagi SBY. Tetapi, satu hal yang pasti, kalau SBY benar-benar yakin dengan disertasinya, dia juga sangat peduli pada pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran. <br /><br />Kalau begitu, stabilitas makroekonomi tak bisa lagi jadi prioritas SBY. Stabilitas tentu penting, tetapi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan lebih penting lagi. <br /><br />Untuk mendorong ekonomi pedesaan, SBY harus berpikir seribu kali sebelum memotong defisit anggaran dengan mengurangi pengeluaran pembangunan. Kita baru bicara tentang pembangunan infrastruktur, belum anggaran untuk pembangunan pendidikan dan kesehatan publik yang dia janjikan selama kampanye. <br /><br />SBY tak boleh alergi pada defisit anggaran dan inflasi. Defisit anggaran perlu diturunkan, tapi tak perlu dipangkas drastis ketika ekonomi tumbuh perlahan. Inflasi rendah juga sangat bagus, tapi kondisi moneter jangan sampai terlalu ketat sehingga menghambat potensi pertumbuhan. <br /><br />Ini bukan pekerjaan mudah. Beban anggaran pemerintah sangat berat. Untuk membiayai pembangunan, penerimaan pajak harus terus dinaikkan, dengan memperluas obyek pajak dan memerangi penggelapan pajak. Meroketnya harga minyak menambah beban subsidi berlipat ganda. Beranikah SBY memangkas subsidi minyak yang tak perlu dan memfokuskannya hanya pada rakyat miskin yang membutuhkan? <br /><br />Beban utang pemerintah juga sangat berat. Maukah SBY mengusahakan penjadwalan kembali utang luar negeri dan merekayasa finansial utang dalam negeri untuk memberi ruang gerak bagi kebijakan fiskal dalam jangka pendek? Program pemerintah juga rentan korupsi. Mampukah SBY menggebrak, memberi terapi kejut, supaya koruptor jadi kecut dan program pembangunan berjalan efektif? <br /><br />BI juga terobsesi menurunkan inflasi secara drastis dalam jangka pendek. Maukah SBY meminta BI menunda penurunan inflasi sampai ekonomi tumbuh tinggi kembali, mentargetkan kembali penurunan inflasi dalam 5-10 tahun sehingga tidak mengganggu pemulihan ekonomi? <br /><br />Kita boleh berharap. Ekonom-ekonom di belakang SBY bukan ekonom konservatif yang mendominasi debat kebijakan ekonomi di media massa. Irsan Tanjung, ekonom Universitas Indonesia dari Partai Demokrat, misalnya, tak ragu memperbesar belanja pemerintah dan defisit anggaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Seperti dikutip Tempo minggu lalu, dia memandang stabilitas makroekonomi perlu, tapi ketika investasi belum pulih, pemerintah perlu turun tangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meyakinkan pemodal pada prospek ekonomi. <br /><br />Joyo Winoto, ekonom dari The Brighten Institute yang juga mendukung SBY, ingin menghidupkan kembali sektor pertanian dan ekonomi pedesaan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Dia sepakat dengan disertasi SBY tentang pentingnya pembangunan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan dan mengurangi pengangguran. <br /><br />Dalam hitungan hari, kita akan lihat wajah SBY yang sebenarnya. Potret pertamanya akan terpampang lewat pilihan menteri-menteri ekonominya. Akankah SBY mengangkat ekonom konservatif seperti halnya Megawati ataukah dia memilih ekonom beraliran liberal seperti Irsan Tanjung? Akankah SBY mengangkat Jaksa Agung yang berani dan mampu menggebrak dunia ekonomi yang dijangkiti korupsi kronis? <br /><br />SBY bisa mengikuti jalan mudah Megawati: memprioritaskan stabilitas makroekonomi dan menyembunyikan masalah pengangguran dan kemiskinan di balik kegemerlapannya. <br /><br />Sebaliknya, SBY bisa menjadi Presiden Perubahan seperti yang dia janjikan, memimpin pemulihan ekonomi dengan memanfaatkan setiap peluang fiskal dan moneter untuk mendorong pertumbuhan. SBY tak sekadar memajang disertasi doktornya di lemari buku, tapi juga menjadikannya landasan semangat kebijakan pengembangan ekonomi pedesaan dan sektor pertanian. <br /><br />Sebaiknya begitu. Rakyat akan mengamati setiap langkah SBY. Megawati telah menunjukkan bagaimana caranya mengecewakan wong cilik pendukungnya. SBY tentu tak ingin bernasib sama lima tahun mendatang.* </span>Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103767773252896412004-09-02T10:07:00.000+08:002013-10-21T15:11:05.490+08:00Bukan masalah nomor satu<a href="http://www.korantempo.com/news/2004/9/2/Opini/56.html">Koran Tempo 02/09/2004</a>. Oh, penganggur, malang nian nasibmu. Pemerintah tega menomorduakanmu. <br />
<br />
Di negeri berjuta penganggur ini, stabilitas makroekonomi mengemudikan kebijakan, pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja dilempar ke bangku belakang. <br />
<br />
Konsensus Washington, ke sanalah pemerintah berkiblat, mengikuti resep generik, obat segala penyakit krisis ekonomi ramuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Prioritasnya: tekan defisit anggaran dan inflasi habis-habisan. <br />
<br />
Dulu, ketika IMF masih memandori, kita mengerti pemerintah tak punya pilihan lain. Kalau masih butuh utang baru untuk menjaga kurs rupiah, persyaratan IMF wajib dipatuhi pemerintah. Sekarang, setelah IMF pergi, anehnya, pemerintah tak berubah. <br />
<br />
Lihat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2005. Defisit anggaran terus ditekan, dari 1,2 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini ke 0,8 persen tahun depan. Akibatnya, penerimaan pajak dan utang baru pemerintah banyak terpakai untuk membayar utang lama, hanya sedikit yang dipompakan kembali ke ekonomi. <br />
<br />
Anggaran tak berdaya stimulus, tak mendorong pertumbuhan, tak mampu memangkas pengangguran. Karena defisit anggaran terus dikurangi sejak tahun 2000, kebijakan fiskal mungkin ikut bertanggung jawab mengapa ekonomi tumbuh rendah selama ini. <br />
<br />
Padahal, ekonomi tumbuh lambat dan angka pengangguran terus naik. Padahal, kalau mau, pemerintah bisa mendorong pertumbuhan dengan anggaran yang ekspansif, atau setidaknya membiarkan ekonomi tumbuh sendiri dengan tak memangkas defisit anggaran secara drastis. <br />
<br />
Minggu lalu di Tokyo, pada sebuah seminar tentang Indonesia yang ditaja Jepang, dihadiri pakar dari Indonesia dan Jepang, kita dengar lagi mantra yang sama (M. Sadli, Koran Tempo, 30 Agustus). Katanya, karena bisa membahayakan stabilitas makroekonomi, pemerintah sebaiknya tak bermain-main dengan stimulus fiskal. Inflasi juga harus ditekan lebih rendah, target 5-7 persen pemerintah tak memadai. <br />
<br />
Sungguh rekomendasi yang sulit dimengerti. Setelah terperosok ke jurang krisis pada 1998, ekonomi Indonesia sedang bangkit kembali. <br />
<br />
Alih-alih membiarkan ekonomi belajar berlari, pemerintah justru diminta membatasi ruang geraknya. <br />
<br />
Ibaratnya, ketika masih lemah dan kurang gizi, ekonomi Indonesia sudah dipaksa diet ketat. Dengan menurunkan defisit anggaran secara drastis, pemerintah seperti mengikat tangannya sehingga tak bisa menyuapi ekonomi yang kurang makan. Dengan menurunkan inflasi secara tajam Bank Indonesia (BI) terpaksa memperketat kebijakan moneter, membatasi pasok uang, dan menaikkan suku bunga. BI seperti menyedot udara di ruangan ketika ekonomi kepayahan bernapas. <br />
<br />
Mengapa terburu-buru? Mengapa tak menunggu ekonomi sehat dan tumbuh tinggi 6-7 persen kembali? Bukankah akan lebih mudah, dan lebih murah, menurunkan defisit dan inflasi ketika ekonomi segar bugar? <br />
<br />
Lagi pula, anggaran defisit ketika ekonomi melambat tak salah sepanjang pemerintah mengarahkannya ke surplus waktu ekonomi tumbuh tinggi. Banyak negara maju menggunakan kebijakan fiskal untuk menyangga perlambatan ekonomi. Sebut saja Jepang yang defisit anggarannya pernah 8 persen pada 1990-an. Saat ini anggaran pemerintah AS defisit 4-5 persen. Begitu juga banyak negara Eropa seperti Jerman dan Inggris. Kalau perlu stimulus fiskal, anggaran anggota Masyarakat Eropa diperbolehkan defisit 3 persen dari PDB, dengan tambahan 0,5 persen kalau resesi ekonominya parah. <br />
<br />
Jangan lupa, negara tetangga Malaysia dan Singapura pun membentengi diri dengan defisit anggaran ketika krisis ekonomi menyerang pada 1998. Pada 2003 pun defisitnya masih tinggi, berturut-turut 6,3 dan 1,6 persen. <br />
<br />
Indonesia tentu bukan Malaysia atau Singapura. Beban utang luar negeri kita lebih berat, kebijakan fiskal kita tak sebebas mereka. Kita tak bisa jorjoran memompa ekonomi dengan stimulus fiskal, tapi setidaknya kita bisa mengurangi dampak negatif pengetatan fiskal dengan tidak memangkas defisit anggaran secara drastis, dengan menurunkannya hanya secara perlahan. <br />
<br />
Sebaliknya, pemerintah ingin anggaran berimbang segera. BI pun ditugaskan menurunkan inflasi ke bawah 5 persen. <br />
<br />
Banyak ekonom kita membenarkan. Mereka mengatakan, stimulus fiskal tidak akan berhasil karena sisi penawaran ekonomi yang bermasalah, bukan permintaan agregat. Karena menuntut tambahan utang dalam negeri, stimulus fiskal juga akan meningkatkan inflasi dan suku bunga sehingga membahayakan stabilitas makroekonomi dan kesinambungan fiskal. <br />
<br />
Sisi penawaran ekonomi memang bermasalah. Tetapi, ketika jutaan orang menganggur dan banyak pabrik tak bekerja, siapa bilang tak ada masalah permintaan? Yang jelas, konsumsi swasta dan investasi, dua elemen permintaan agregat yang paling penting, belum tumbuh secepat pertumbuhannya sebelum resesi 1998. <br />
<br />
Menaikkan inflasi sehingga mengganggu stabilitas makroekonomi? Tidak juga. Banyak pos pengeluaran pemerintah yang tak banyak berpengaruh pada inflasi. Sebut saja perbaikan sekolah dan sarana kesehatan publik, atau pembangunan jalan dan irigasi di pedesaan. <br />
<br />
Tambahan pinjaman pemerintah akan menaikkan suku bunga dan membatasi investasi swasta? Mungkin saja, tapi risikonya kecil. Dana perbankan yang diparkir di BI bisa digunakan pemerintah untuk membiayai pendidikan dan kesehatan publik. Lagi pula, pemerintah turun tangan untuk sementara, hanya ketika investasi swasta belum pulih. <br />
<br />
Membahayakan kesinambungan fiskal? Sama sekali tidak. Kita tidak meminta defisit anggaran 3-5 persen dari PDB, penurunannya saja yang diperlambat, misalnya 1,5 persen selama ekonomi belum tumbuh tinggi. Silakan capai anggaran berimbang, tapi dalam jangka menengah 3-5 tahun. <br />
<br />
Singkatnya, mendewakan stabilitas makroekonomi hanyalah dogma ekonomi super-konservatif. Pemerintah baru harus membuka diri, melihat masalah ekonomi secara realistis, menjadikan pengangguran sebagai masalah nomor satu ekonomi. Penurunan defisit anggaran dan inflasi tentu penting, tapi lakukan secara bertahap dan perlahan, jangan sampai mengorbankan pertumbuhan dan penciptaan tenaga kerja. <br />
<br />
Pemerintah perlu menjanjikan para penganggur satu hal: masalah mereka tak sepele, pemerintah tak akan menomorduakan dan akan bekerja keras mengatasinya.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103768093457193512004-08-05T00:13:00.000+08:002013-10-21T15:11:30.045+08:00Hantu deindustrialisasi<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/08/06/19524/Hantu-Deindustrialisasi">Koran Tempo 05/08/2004</a>. Industri manufaktur mati suri. Baru maju selangkah menuju negara industri berteknologi tinggi, Indonesia harus beringsut mundur, kembali jualan kayu, kopi, dan kepala sawit. Istilah kerennya: deindustrialisasi. <br />
<br />
Itu mantera mutakhir pengamat ekonomi. Belum, kita belum terperosok ke dalamnya, baru gejalanya saja, kata Muchammad Chatib Basri. Tapi, kalau pemerintah tak turun tangan, ribuan pabrik akan mati. Atau dengar Kwik Kian Gie. Katanya, kita justru sudah masuk era deindustrialisasi. Kalau barang Cina masuk, industri manufaktur kita akan tutup semua. <br />
<br />
Benarkah begitu? Dan apa yang perlu kita lakukan? <br />
<br />
Akhir-akhir ini memang banyak pabrik yang tutup dan pekerja menganggur, terutama pada industri tekstil, garmen, dan sepatu. Tapi, kehilangan lapangan kerja belum bisa dikatakan terjadi secara luas dan besar-besaran di seluruh industri. Sejak resesi 1998 sampai 2002 industri manufaktur justru menyerap lebih banyak tenaga kerja, dari 11 persen lapangan kerja pada 1998 menjadi sekitar 13 persen pada 2002. <br />
<br />
Anomali baru terjadi pada 2003: lapangan kerja industri manufaktur turun drastis, 9,7 persen, terutama pada industri sepatu. Tapi, apakah penurunan ini kecenderungan permanen atau tidak, masih perlu dilihat lebih lanjut. <br />
<br />
Orang juga mengkhawatirkan pertumbuhan industri manufaktur yang katanya terus melambat. Sebaliknya, tiga tahun terakhir industri manufaktur tumbuh sekitar 5 persen per tahun. Pada triwulan pertama tahun ini tumbuh 5,5 persen. Indikasi perlambatan ekspansi industri manufaktur belum terlihat. <br />
<br />
Investasi yang rendah juga sering ditunjuk sebagai pemicu deindustrialiasi. Tapi ketika pabrik masih menganggur, kapasitas produksi terpakai 60-70 persen, bagaimana kita mengharapkan investasi besar-besaran di industri manufaktur? Satu-dua tahun lagi, setelah pabrik bekerja pada kapasitas penuh, investasi mungkin saja bangkit, tapi tidak sekarang. <br />
<br />
Entah mengapa, orang juga bilang peran produk manufaktur dalam ekspor cenderung turun. Sebaliknya, statistik ekspor bercerita lain: pada 2001-2003 pangsa produk manufaktur dalam ekspor berturut-turut 66,9, 67,5, dan 66,5 persen. Tak ada kecenderungan penurunan yang nyata di sini. <br />
<br />
Peran industri manufaktur pada ekonomi juga tidak berkurang, untuk tidak mengatakan meningkat. Sebelum krisis industri manufaktur sekitar 22 persen dari PDB, sekarang porsinya 25 persen. <br />
<br />
Tentu, kalau dibandingkan dengan sebelum resesi, kinerja industri manufaktur tidak memuaskan. Pertumbuhan manufaktur hanya 5 persen, tak seberapa dibanding 10 persen sebelum krisis. <br />
<br />
Tapi, suka atau tidak, biasanya seperti itulah karakter ekonomi yang bangkit dari resesi. Sampai sekarang ekonomi belum kembali ke pertumbuhan normalnya, 6-7 persen per tahun. Tak heran kalau kemudian industri manufaktur hanya tumbuh 5 persen atau investasi belasan persen dari PDB. <br />
<br />
Lagi pula, dibanding negara krisis lainnya, kinerja ekonomi Indonesia tiga tahun terakhir sebenarnya tak buruk. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2001-2003 yang berturut-turut 3,8, 4,3, dan 4,5 persen sepadan dengan Malaysia, Filipina, atau Korea Selatan, bahkan lebih baik dari Singapura. Di ASEAN, kita hanya lebih buruk dari Thailand, Kamboja, dan Vietnam. <br />
<br />
Pertumbuhan industri manufaktur yang hanya 5 persen, belum 10 persen seperti dulu, bukan pengalaman unik Indonesia. Pertumbuhan industri manufaktur Malaysia, Thailand, dan Singapura juga lebih rendah dibanding dengan pertumbuhannya pada awal 1990-an. <br />
<br />
Investasi di negara-negara krisis juga belum sepenuhnya pulih. Di Filipina, misalnya, rasio investasi terhadap PDB 17 persen, lebih rendah dari 25 persen pada 1990-an. Begitu juga dengan Thailand yang sebelum krisis rasio investasi terhadap PDB-nya 40 persen, sekarang 25 persen. Investasi asing langsung di Thailand juga kecil, di Korea Selatan bahkan negatif kembali dua tahun terakhir. <br />
<br />
Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-5 persen, tapi tanpa kebijakan stimulus pemerintah Indonesia, kinerja ini cukup mengesankan. Selama ini pemerintah sibuk menurunkan defisit anggaran ke 1 persen dan Bank Indonesia repot menurunkan inflasi ke 5 persen. Anggaran pemerintah negara krisis lainnya lebih bersahabat pada pemulihan ekonomi. Malaysia atau Filipina, misalnya, sejak tahun 2000, membiarkan defisit anggaran berturut-turut 5 dan 4 persen lebih. <br />
<br />
Singkatnya, terlalu dini dan berani mengatakan Indonesia sudah masuk era deindustrialisasi. Gejalanya pun, kalaupun ada, hanya samar-samar. Dibandingkan dengan kinerja industri manufaktur negara tetangga, terlalu buruk penilaian yang kita berikan pada industri manufaktur Indonesia. <br />
<br />
Sekalipun begitu, tentu bukan berarti pemerintah boleh berpangku tangan. Harus kita akui, industri manufaktur kita bermasalah. Masalahnya berat dan kompleks. Sebut saja pungutan liar dan korupsi yang tak berkurang, peraturan pemerintah daerah dan pusat yang tumpang-tindih, upah minimum yang tinggi, infrastruktur yang telantar, atau perizinan yang berbelit-belit. <br />
<br />
Makin lama pemerintah menunda penanganannya, makin besar peluang pertumbuhan ekonomi yang terbuang sia-sia, dan makin tertinggal pembangunan kita dibanding negara tetangga. <br />
<br />
Kalangan industri juga menghadapi persaingan bisnis yang makin ketat sejalan dengan liberalisasi perdagangan. Tantangan paling besar saat ini dihadapi industri tekstil dan garmen. Pencabutan kuota impor AS dan Eropa sangat menguntungkan negara berupah murah seperti Cina dan Vietnam. Kalau tak ingin kalah bersaing, industri kita harus berinovasi dengan desain produk berteknologi lebih tinggi. <br />
<br />
Jadi, kinerja industri manufaktur kita tidak buruk sekali. Sebagai pengamat, mari kita ceritakan apa adanya, tanpa melebih-lebihkan atau menjelek-jelekkannya. Membungkus pesan dengan istilah suram seperti deindustrialiasi mungkin bisa merebut perhatian pemerintah. Tapi meniupkan pesimisme berlebihan pada dunia bisnis bisa juga jadi bumerang dan menghapuskan harapan pemulihan ekonomi.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103768301820686582004-07-22T20:16:00.000+08:002013-10-21T15:12:05.150+08:00Tersandera investasi asing?<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/07/23/18388/Tersandera-Investasi-Asing">Koran Tempo 22/07/2004</a>. Ekonomi mentok tumbuh 5 persen, tak bisa melaju 6-7 persen seperti dulu. Kecuali investasi asing membanjir masuk, yang tampaknya takkan terjadi. Tidak dalam dua-tiga tahun ke depan. <br />
<br />
Dengar komentar pengamat tentang kampanye calon presiden (capres). Capres menjanjikan pertumbuhan tinggi dan jutaan pekerjaan baru. Pengamat cepat memotong, katanya itu impian kosong, hanya bunga pemanis penarik hati pemilih. Mungkin saja. Apalagi capres tak bercerita bagaimana mencapainya. <br />
<br />
Tetapi, apakah pertumbuhan tinggi janji kosong? Apa benar ekonomi tersandera investasi asing? Dipikir-pikir, ini lagu lama yang dinyanyikan berulang kali. Akhir tahun lalu orang bilang ekonomi 2004 tak mungkin tumbuh 5 persen. Gara-gara investasi asing itu. <br />
<br />
Lalu, apa yang terjadi? Investasi asing tak kunjung bertamu, tapi ekonomi terus melaju. Sekarang banyak yang sepakat pertumbuhan 5 persen dalam jangkauan. Mungkin lebih. Bank Dunia yang akhir-akhir ini pelit menilai ekonomi Indonesia pun merevisi perkiraannya, dari 4 ke 4,5 persen. <br />
<br />
Masih ingat lagu "pertumbuhan dipacu konsumsi tidak berkelanjutan"? Dulu pengamat seperti koor menyanyikannya. Satu, dua, lima tahun kemudian ekonomi melaju lebih cepat. Motornya? Konsumsi swasta! Sekarang lagu itu pelan menghilang. Orang mulai menerima tak ada salahnya ekonomi yang baru bangkit dari resesi dipacu konsumsi. <br />
<br />
Lagi pula, kita tak sendiri. Pertumbuhan negara Asia krisis lain seperti Malaysia, Thailand, atau Korea Selatan bertumpu pada konsumsi. Konsumsi juga jadi penyelamat ekonomi AS setelah melambat beberapa tahun lalu. <br />
<br />
Memang begitu kelakuan ekonomi pascaresesi. Di mana pun, kapan pun. Setelah ekonomi menyusut, konsumsi yang duluan bangkit. Setelah mesin ekonomi perlahan berputar, barulah investasi mengikuti. Mula-mula investasi rumah tinggal (industri properti) yang menggeliat. Kemudian, ketika mesin ekonomi bekerja penuh dan kerepotan memenuhi permintaan pasar, pebisnis pun mulai investasi, menambah mesin atau memperluas pabrik. <br />
<br />
Investasi asing penting, itu pasti. Tetapi, apakah mahapenting bagi pertumbuhan 6-7 persen? Itu pasti salah besar. <br />
<br />
Pada awal 1990-an sekalipun, ketika Indonesia masih surga bagi pemodal asing, investasi asing relatif kecil, hanya beberapa persen dari ekonomi. Kalau ekonomi yang 95 persen lebih bergerak cepat, ekonomi tak mustahil tumbuh 6-7 persen. <br />
<br />
Investasi asing sedikit, investasi domestik yang mendominasi. Yang terakhir ini pun sudah tumbuh perlahan. Kalau industri perbankan makin sehat dan ekspansi kredit perbankan berlanjut, investasi domestik tetap berkibar dan akan membantu konsumsi sebagai motor pertumbuhan. <br />
<br />
Jangan lupa, kapasitas terpasang ekonomi masih ada yang menganggur. Setidaknya kapasitas tak terpakai itu cukup menyerap pertumbuhan 6-7 persen satu-dua tahun mendatang. <br />
<br />
Usaha kecil juga tak boleh diremehkan. Ketika usaha besar masih berbenah, usaha kecil telah menumpu pertumbuhan dan menyerap pengangguran. Kita belum bicara prospek ekspor yang makin cerah sejalan dengan ekspansi ekonomi dunia. <br />
<br />
Intinya, investasi asing sebagai prasyarat pertumbuhan adalah mitos semata. Dalam jangka panjang, investasi asing memang penting bagi pertumbuhan karena meningkatkan produktivitas, mempercepat alih teknologi, dan memacu kompetisi industri dalam negeri. Tetapi, kalau kita bicara dari tahun ke tahun, dampak investasi asing bagi pertumbuhan ekonomi masih diperdebatkan. <br />
<br />
Debat yang pelik seperti mendiskusikan "duluan mana: ayam atau telur?". Penelitian kadang menemukan investasi asing mempercepat pertumbuhan. Pada kasus lain sebaliknya yang terjadi: pertumbuhan tinggi yang mengundang investasi asing. Pertumbuhan dan investasi asing bisa juga saling mempengaruhi sehingga keduanya seperti berjalan bergandengan tangan. <br />
<br />
Jadi, tak benar ekonomi tersandera investasi asing. Kalaupun investasi asing enggan masuk, ekonomi bisa dan sangat mungkin tumbuh 6-7 persen. <br />
<br />
Pemerintah pun bisa menggantikan peran investasi asing, setidaknya untuk sementara. Syaratnya sederhana: pemerintah mau melepas kacamata kudanya yang terlalu fokus pada stabilisasi ekonomi. <br />
<br />
Defisit anggaran dan rasio utang memang perlu dikurangi, tapi jangan terlalu drastis dan terburu-buru sehingga mengorbankan pembangunan. Inflasi rendah dan stabil sungguh bagus, tapi penurunannya jangan terlalu tajam sehingga Bank Indonesia terpaksa memperketat kebijakan moneter dan menghambat pertumbuhan. <br />
<br />
Kita bukan menuntut subsidi populis, tapi sekadar tambahan sekian triliun rupiah untuk investasi sosial yang pasti bermanfaat. Sebut saja pemberantasan penyakit menular, imunisasi anak, perbaikan puskesmas, penggantian atap sekolah yang bocor, tambahan pasok buku pelajaran, atau perbaikan jalan dan jembatan. <br />
<br />
Bukan percetakan uang seperti pada 1960-an yang kita minta, tetapi BI yang menurunkan inflasi secara bertahap dan menjaga pasok uang sehingga tidak mengganggu ekonomi yang mungkin tumbuh 5 persen lebih. <br />
<br />
Dengan kebijakan fiskal dan moneter seperti ini stabilisasi ekonomi tetap dikejar, tapi dalam lima sampai 10 tahun mendatang. Agenda utama jangka pendeknya adalah pertumbuhan dan pembangunan. Pertumbuhan untuk menyerap pengangguran; pembangunan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. <br />
<br />
Sungguh miris melihat Indeks Pembangunan Manusia 2004 yang baru diumumkan UNDP. Indonesia belum beranjak dari kelas bawah, tepatnya di peringkat ke-111 dari 175 negara. Di antara negara jiran pun kita termasuk paling buncit. Tingkat kesehatan dan pendidikan masyarakat rendah, angka kemiskinan turun, tapi masih besar, infrastruktur terbengkalai. Bayangkan apa yang terjadi kalau dalam lima tahun ke depan stabilisasi ekonomi tetap jadi pengemudi kebijakan pemerintah sementara pertumbuhan dan pembangunan ditendang ke bangku belakang. <br />
<br />
Investasi asing pulih atau tidak, pemerintah baru nanti tak boleh membiarkan ekonomi tumbuh hanya 5 persen. Ibaratnya, tanpa pertumbuhan tinggi, anggaran berimbang dan inflasi rendah seperti lencana emas yang terpasang di dada. Membanggakan, tapi tak ada artinya kalau pemakainya kurang gizi.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103768771181574852004-07-08T18:24:00.000+08:002013-10-21T15:12:38.516+08:00Berdamai dengan inflasi<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/07/09/17455/Berdamai-dengan-Inflasi">Koran Tempo 08/07/2004</a>. Ada yang luput dari debat program ekonomi calon presiden: berapa sasaran inflasi dan bagaimana cara mencapainya? Ini bukan masalah sepele. Bukan hanya karena orang tak suka harga-harga naik, tapi juga karena sasaran inflasi adalah kunci penentu seberapa giat ekonomi menciptakan lapangan kerja. <br />
<br />
Dalam jangka pendek ada trade-off antara inflasi dan pengangguran: penurunan inflasi menuntut pengorbanan bertahun-tahun angka pengangguran tinggi. Makin drastis Bank Indonesia menurunkan inflasi, makin besar biaya pengangguran yang harus kita bayar. <br />
<br />
Sekarang, dengan amendemen Undang-Undang tentang BI yang baru, UU No. 3/2004, pemerintah kembali ikut menentukan sasaran inflasi dan, dengan demikian, pilihan trade-off inflasi dan pengangguran. Langkah awalnya, pekan lalu Departemen Keuangan dan BI sepakat membentuk tim pengendali inflasi yang bertugas mengusulkan sasaran inflasi selama tiga tahun mendatang. Setiap pertengahan tahun, berdasarkan rekomendasi tim yang beranggotakan Departemen Keuangan, BI, dan Badan Pusat Statistik ini, Menteri Keuangan menetapkan sasaran inflasi dan kemudian menyerahkan tanggung jawab pencapaiannya pada BI. <br />
<br />
Sebelumnya, menurut UU No. 23/1999, BI bertugas menjaga inflasi dan hanya inflasi. Sejak itu BI pun memperketat kebijakan moneter, membatasi pasok uang, untuk menurunkan inflasi dari belasan ke sekitar 5 persen. Dampaknya pada perlambatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja tampaknya tak masuk hitungan. <br />
<br />
Lewat tim pengendali inflasi pemerintah bisa kembali menyelaraskan sasaran inflasi BI dengan penciptaan lapangan kerja. Tentu saja kalau pemerintah mau; kalau pemerintah sepakat saat ini pengangguranlah musuh rakyat nomor satu yang harus segera dibasmi. <br />
<br />
Hubungan trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran disebut kurva Phillips, mengambil nama ekonom yang menemukannya. Phillips menemukan, dalam jangka pendek dari tahun ke tahun, kebijakan pemerintah sering mendorong inflasi dan angka pengangguran ke arah yang berlawanan. <br />
<br />
Penjelasan sederhananya begini: dalam jangka pendek harga-harga biasanya lamban berubah. Gaji pegawai, misalnya, naik hanya sekali setahun. Pedagang pun tak bisa setiap saat mengubah harga barang dagangannya. Kalau, misalnya, BI menyedot pasok uang untuk menurunkan inflasi, uang yang tersedia untuk jual-beli berkurang. Kalau harga-harga juga turun, tak ada masalah. Tetapi, kalau harga dan gaji tak berubah, tak cukup banyak uang tersedia untuk jual-beli seperti biasanya, transaksi ekonomi melambat, dan angka pengangguran pun meningkat. <br />
<br />
Jadi, tak cukup kalau calon presiden hanya bicara tentang penggalakan proyek padat karya atau investasi untuk mengurangi pengangguran. Kebijakan moneter BI juga penting, dan penentu arahnya adalah sasaran inflasi. <br />
<br />
Biaya penurunan inflasi sangat besar. Lihat misalnya, ekonomi AS pada 1980-an di bawah Paul Volcker, Gubernur The Fed waktu itu. Pada 1979 Volcker bertekad menurunkan inflasi yang waktu itu belasan persen. Inflasi akhirnya turun ke 4 persen, tapi rakyat AS harus membayar dengan angka pengangguran yang melonjak dari sekitar 5 ke hampir 11 persen selama dua tahun berikutnya dan tidak turun ke tingkat semula sampai 1988. <br />
<br />
Pengetatan moneter BI selama ini mungkin ikut menyebabkan ekonomi tumbuh perlahan. Sejak tahun 2000 BI memperketat kebijakan moneter untuk menurunkan inflasi. Pada 2002 pertumbuhan pasok uang bahkan sempat lebih rendah daripada tingkat inflasi sehingga secara riil pasok uang menyusut. Parahnya lagi, BI memperketat kebijakan moneter pada saat kebijakan fiskal pemerintah juga kontraktif: defisit anggaran dikurangi secara tajam, begitu juga rasio utang luar negeri, sementara itu penerimaan pajak diperbesar. <br />
<br />
Tentu kita bukan tak ingin BI menurunkan inflasi. Inflasi rendah yang stabil, sekitar 3-5 persen, bagus bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Masalahnya adalah apakah sasaran inflasi BI selama ini layak? Yang paling penting, maukah kita membayar mahal biayanya dengan pengangguran tinggi? <br />
<br />
Sasaran inflasi tahun ini yang sekitar 5 persen, misalnya, mungkin terlalu ambisius. Bulan lalu saja inflasi tahunan sudah 6,83 persen dengan kecenderungan meningkat. Kalau BI ngotot mencapai sasaran inflasi 5 persen, kondisi moneter bisa terlalu ketat sehingga membahayakan pertumbuhan ekonomi. <br />
<br />
Kalau pejabat BI tak mau mendapat rapor merah dari DPR, mungkin itu yang mereka lakukan. Skenario terburuknya: ekspansi ekonomi sudah terhambat, sasaran inflasi 5 persen pun tak tercapai karena ekspektasi inflasi masyarakat masih tinggi. <br />
<br />
Ekspektasi inflasi sangat bergantung pada kredibilitas BI sebagai penjaga inflasi. Ketika BI sedang membangun kepercayaan pasar saat ini, janji inflasi 5 persen yang tak tertepati hanya mencoreng muka BI dan mengurangi efektivitas kebijakannya di masa depan. <br />
<br />
Lagi pula, tak ada yang sepenuhnya paham bagaimana kebijakan moneter bekerja di Indonesia. Kita semua sedang belajar, BI tak terkecuali. Di tengah ketaktahuan ini, ongkos kegagalan BI sangat besar. BI pun tidak tahu pasti berapa ekspektasi inflasi. Suku bunga kredit yang belasan persen ketika bunga SBI sangat rendah mungkin mengindikasikan ekspektasi inflasi yang masih tinggi. Kita belum bicara tentang waktu yang diperlukan kebijakan moneter untuk mempengaruhi inflasi dan ekonomi, mungkin dalam hitungan tahunan. Intermediasi perbankan belum pulih. Efektivitas kebijakan moneter BI pun masih tanda tanya. <br />
<br />
Jadi, untuk sementara, tak ada salahnya kalau kita berdamai dengan inflasi. Sebelum resesi 1998 kita sudah terbiasa dengan inflasi 8-10 persen. Investasi asing tetap mengalir dan ekonomi bisa tumbuh tinggi. Ekonomi kita yang didominasi sektor informal juga lebih tahan banting terhadap inflasi sehingga dampak buruk inflasi 10 persen masih bisa diterima. <br />
<br />
Sekarang tim pengendali inflasi akan bekerja dan, akhir bulan ini, Menteri Keuangan akan menetapkan sasaran inflasi yang perlu dicapai BI pada 2005-2007. Pemerintahan Megawati, dan presiden terpilih September nanti, dituntut menjelaskan kepada masyarakat mengapa sasaran inflasi itu yang dipilih dan berapa biaya pengangguran yang perlu kita tanggung untuk mencapainya. <br />
<br />
Idealnya, pemerintah cukup memanfaatkan pengangguran dan kapasitas produksi berlebih yang tinggi saat ini untuk menurunkan inflasi. Tanpa pengetatan moneter pun inflasi akan turun secara alami. Memang secara perlahan, tapi mungkin cukup menurunkan inflasi ke 3-5 persen dalam 5-10 tahun mendatang. <br />
<br />
Ini sasaran inflasi yang sangat realistis. BI juga tak perlu mempertaruhkan kredibilitasnya dengan sasaran yang mustahil dicapai. Risiko perlambatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja pun bisa dihindari. <br />
<br />
Inflasi boleh turun dan harga barang murah, tapi apa gunanya kalau semakin banyak penganggur tak punya uang?*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103768930787064692004-06-10T02:27:00.000+08:002013-10-21T15:13:07.486+08:00Rupiah mau ke mana?<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/06/11/15329/Rupiah-Mau-ke-Mana">Koran Tempo 10/06/2004</a>. Tahun lalu rupiah jadi bintang, menguat tujuh persen, digelari mata uang Asia berpenampilan terbaik. Sekarang pecundang, sempat kehilangan dua belas persen nilainya dibanding awal Januari. <br />
<br />
Gonjang-ganjing rupiah mengejutkan. Kata pemerintah, rapor makroekonomi Indonesia sangat baik. Pengamat ekonomi menyetujui. Dana Moneter Internasional (IMF) memuji. Lembaga pemeringkat asing pun memberi acungan jempol. <br />
<br />
Tapi, apa betul? Mengapa pertahanan Bank Indonesia bisa jebol? <br />
<br />
Mari kita lihat. Pertumbuhan ekonomi lumayan. Suku bunga kredit turun. Memang tidak setajam penurunan suku bunga deposito, tapi bolehlah. Cadangan devisa bertambah, jadi sekitar US$ 37 miliar, lebih dari cukup membiayai impor dan utang. Inflasi juga dijinakkan, dari belasan ke sekitar empat persen. <br />
<br />
Sejauh ini sempurna, sebelum kemudian harga-harga melonjak cepat. Inflasi tahunan yang sempat empat persen pada Mei lalu jadi 6,47 persen. Perkiraan inflasi BI sebesar 5 persen jadi tanda tanya besar. Asumsi inflasi pemerintah yang 6,5 persen pun bisa terlampaui. <br />
<br />
Ternyata potret makroekonomi tak segemerlap yang kita bayangkan. Kita jadi bertanya-tanya bagaimana sebenarnya ekspektasi inflasi masyarakat. Apakah turun drastis seperti diperkirakan BI? Atau jangan-jangan perhitungan BI terlalu optimistis? <br />
<br />
Masalahnya, ekspektasi inflasi, suku bunga, dan kurs terkait erat. Kalau ekspektasi inflasi tinggi, katakanlah 7-8 persen, suku bunga deposito yang saat ini sekitar 5 persen sama sekali tak menarik--suku bunga riilnya sudah negatif. Suka bunga SBI yang sekitar 7 persen pun tak berarti. Kalau bunga tak segera naik, rupiah ditinggalkan dan orang berburu dolar. Rupiah pun akhirnya melemah, kecuali BI melempar cukup dolar ke pasar. <br />
<br />
Target inflasi diragukan dan suku bunga dipertanyakan, rupiah juga jadi korban spekulasi. Nilai rupiah, seperti aset pada umumnya, bergantung pada perkiraan kondisi ekonomi masa depan. Namanya perkiraan, kalau ketidakpastiannya besar, gampang dipertaruhkan. <br />
<br />
Tampaknya itu yang terjadi akhir-akhir ini. Pasar terlalu pesimis sehingga perlemahan rupiah menggelembung dari yang seharusnya. Sebagian orang bahkan bertaruh meniup gelembung rupiah semakin besar. Tentu makin besar gelembung rupiah, makin mudah pecah, dan makin besar fluktuasinya. <br />
<br />
Awalnya, sekalipun rupiah melemah, BI tetap yakin pada kekuatan makroekonomi. Menurut BI, perlemahan rupiah sementara, hanya karena perlemahan mata uang regional. Ekonomi AS diperkirakan tumbuh lebih cepat dan inflasi meninggi sehingga bank sentral AS, the Fed, akan menaikkan suku bunga. Uang panas pemodal asing yang berlabuh di pasar modal pun berulah, kembali ke luar negeri, bersiap menyambut ekspansi ekonomi AS. <br />
<br />
Sayangnya, ketika aliran uang panas reda dan mata uang lain perlahan stabil, rupiah terus meluncur hingga sempat menembus Rp 9.500 per dolar Amerika. <br />
<br />
Sekarang BI tak bisa lagi berlindung dari perlemahan mata uang regional. Perlemahan rupiah memang dipicu isu kenaikan suku bunga AS, tapi masalah domestik tampaknya juga menghantui. <br />
<br />
Sekarang, menurut BI, rupiah melemah karena bank domestik ikut spekulasi. Katanya likuiditas perbankan sangat besar sementara peluang investasi terbatas. Kebetulan BI baru saja menjarangkan jadwal lelang SBI. Keinginan bank pun tak semuanya diserap, mungkin karena bank meminta suku bunga tinggi. Lelang surat utang pemerintah Mei lalu juga dibatalkan karena alasan yang sama. Padahal, sekitar Rp 8 triliun surat utang jatuh tempo. <br />
<br />
Alhasil, menurut BI, tambahan sekian puluh triliun mengendap di bank. Ini yang BI curigai digunakan bermain dolar. <br />
<br />
BI mungkin saja benar, tapi apakah dampaknya pada rupiah sebesar ini? Lagi pula seharusnya tambahan likuiditas akibat penjarangan jadwal lelang SBI bisa diantisipasi BI sejak dulu. Pembatalan lelang surat utang pemerintah pun sebenarnya bisa diduga karena di pasar sekunder suku bunganya sudah 11 persen, jauh lebih tinggi dari yang diinginkan pemerintah. <br />
<br />
Barangkali penyebab perlemahan rupiah sederhana saja: pelaku pasar khawatir rupiah terus melemah. Untuk mengurangi potensi kerugian, perusahaan swasta dan BUMN diduga beramai-ramai memborong dolar; tidak hanya untuk kebutuhan impor dan pembayaran utang saat ini, tapi juga untuk beberapa bulan mendatang. Permintaan dolar pun melonjak tajam sementara pasoknya seret. <br />
<br />
Apa pun, BI sudah memutuskan jurus baru moneternya. Untuk membatasi spekulasi, kelebihan likuiditas di perbankan diserap dengan Fasilitas BI (Fasbi) mingguan dan lelang SBI berjangka enam bulan. Giro wajib minimum (GWM) bank, simpanan wajib tak berbunga di BI, juga dinaikkan. <br />
<br />
Akibatnya, jelas kontraksi moneter. Sekalipun tambahan GWM diberi sedikit bunga, beban biaya bank pasti bertambah. Karena perubahan GWM biasanya berjangka panjang, suku bunga kredit otomatis naik. <br />
<br />
Selain itu, untuk membatasi ruang gerak spekulator, BI juga membatasi posisi devisa bersih sepanjang hari setiap bank maksimum 20 persen dari modal. <br />
<br />
Kelihatannya ketiga jurus BI ini ampuh. Rupiah menguat ke Rp 9.200-an per dolar Amerika pada perdagangan kemarin. Tapi apakah kebijakan ini efektif dalam jangka panjang? <br />
<br />
BI perlu mengamati ekspektasi inflasi dan menetapkan suku bunga sepadan sehingga rupiah tetap menarik. Keengganan BI menaikkan suku bunga bisa dimengerti karena trauma terapi bunga tinggi yang gagal pada 1998 lalu. Tapi kalau ekspektasi inflasi ternyata masih tinggi dan the Fed jadi menaikkan suku bunga akhir bulan ini, suku bunga SBI saat ini sulit dipertahankan. <br />
<br />
Kelebihan likuiditas bank memang perlu diserap kalau digunakan spekulasi. Tapi kontraksi moneter jangan sampai terlalu ketat sehingga mengganggu pasok uang. Ekonomi saat ini sangat bergantung pada sektor informal, usaha kecil dan menengah, yang banyak menggunakan uang kartal. Kalau pasok uang terganggu, ekspansi ekonomi bisa terhambat. <br />
<br />
BI juga perlu lebih agresif mengintervensi pasar. Cadangan devisa memang perlu dijaga, tapi kalau tekanan terhadap rupiah besar, mengapa ragu-ragu menggunakannya? <br />
<br />
Yang paling penting sebetulnya adalah mempersempit ruang gerak spekulator. Sekalipun kita menganut rezim devisa bebas, perdagangan valuta asing perlu dibatasi rambu-rambu pengaman. Pengetatan aturan posisi devisa bersih yang baru diterapkan langkah maju ke arah ini. Lebih jauh, BI perlu lebih ketat membatasi perdagangan mata uang tanpa underlying transaction, termasuk jual-beli forward. Mekanisme lindung-nilai juga perlu dikembangkan supaya tidak terjadi penumpukan permintaan valuta asing secara berlebihan hanya karena spekulasi tak berdasar. <br />
<br />
Dengan memagari rezim devisa bebas, rupiah akan lebih stabil, tidak menguat drastis, tapi juga tidak melemah tajam. Rupiah tak akan jadi bintang seperti tahun lalu dan pecundang sekarang ini. Rasanya rupiah seperti itu yang kita harapkan dari BI.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103769075071740512004-05-27T13:29:00.000+08:002013-10-21T15:13:39.356+08:00Minyak, oh minyak<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/05/28/14320/Minyak-Oh-Minyak">Koran Tempo 27/05/2004</a>. Apa yang terjadi kalau harga minyak naik berlipat ganda?
<br />
<br />
Dampaknya buruk, mungkin bisa disebut bencana. Ekonomi Indonesia yang mulai melaju bisa sempoyongan kembali. Karena praktis semua produksi barang terkait dengan minyak, harga-harga pun naik. Bagaimana tidak kalau ongkos angkutan, tarif listrik, dan harga bahan baku meroket ke langit?
<br />
<br />
Kalau tak bisa meneruskan kenaikan harga minyak ke konsumen, perusahaan terpaksa menekan keuntungan. Akibatnya, investasi tertunda dan sebagian pekerja dirumahkan. Pasar tenaga kerja melemah, pertumbuhan melambat, dan pengangguran pun meningkat.
<br />
<br />
Kadang dua-duanya: sudah inflasi tinggi, pertumbuhan pun melambat.
<br />
<br />
Syukur alhamdulillah, sekalipun harga minyak mentah dunia melonjak ke US$ 40 lebih per barel, semua ini tidak terjadi. Berkat kandungan minyak bumi di perut ibu pertiwi, pemerintah masih bisa mensubsidi minyak kebutuhan rumah tangga dan usaha kecil. Dengan demikian, ekonomi sedikit-banyak terlindungi dari guncangan pasar minyak dunia.
<br />
<br />
Akan tetapi, karena harga minyak kebutuhan industri dilepas ke pasar bebas, dunia bisnis harus menghadapi lonjakan harga minyak. Kalau krisis minyak berlangsung berkepanjangan, dampaknya pada ekonomi tak bisa diabaikan.
<br />
<br />
Sayangnya, pemerintah yang seharusnya mengemudikan ekonomi mengarungi krisis minyak seperti tak berdaya.
<br />
<br />
Kebijakan fiskal, misalnya, lebih difokuskan untuk mempercepat pengurangan defisit anggaran. Tahun ini defisit anggaran ditargetkan 1,2 persen dari ekonomi. Karena harga minyak naik, subsidi BBM pun meningkat, defisit membengkak, dan target defisit terancam tak tercapai. Penerimaan pemerintah dari penjualan minyak memang meningkat, tapi tak sepenuhnya membantu karena sebagian harus dibagi-bagikan ke daerah.
<br />
<br />
Kalau pemerintah bersikeras menurunkan defisit ke 1,2 persen, anggaran pemerintah yang sudah ketat akan cenderung makin kontraktif.
<br />
<br />
Kebijakan fiskal tak bisa diharapkan, kebijakan moneter juga setali tiga uang. Kalau tekanan inflasi besar, Bank Indonesia yang selama ini terobsesi pada inflasi rendah akan kembali memperketat kebijakan moneter. Apalagi saat ini rupiah cenderung melemah. Belum kalau bank sentral AS, the Fed, jadi menaikkan suku bunga.
<br />
<br />
Alhasil, ramuan sempurna perlambatan ekonomi: sudah sisi pasokan ekonomi diguncang kenaikan harga minyak, sisi permintaan juga dihambat oleh kebijakan fiskal dan moneter.
<br />
<br />
Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak kenaikan harga minyak pada ekonomi dunia. Ekonomi Indonesia sudah begitu terkait erat, saling bergantung, dengan ekonomi dunia. Dengan ekspor Indonesia yang mencapai sepertiga dari ekonomi, kalau ekonomi AS atau Cina terbatuk-batuk, sakitnya dirasakan produsen sepatu di Tangerang atau industri kayu di Kalimantan.
<br />
<br />
Krisis minyak saat ini memang belum sebanding dengan krisis pada 1970-an. Waktu itu, harga minyak tak hanya US$ 40 per barel, tapi sempat mencapai US$ 80 kalau diukur dalam dolar saat ini. Sekarang the Fed juga lebih siap mengantisipasi dampak kenaikan harga minyak. Karena ekonomi AS terancam deflasi beberapa waktu lalu, the Fed mungkin bahkan membiarkan inflasi beberapa persen.
<br />
<br />
Katakanlah harga US$ 40 selama satu-dua bulan masih oke, tapi bagaimana kalau ini terus berlangsung, atau harga minyak justru makin tinggi?
<br />
<br />
Harga minyak sulit diduga. Baru Februari lalu Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) berencana memotong kuota produksi beberapa juta barel per hari untuk mengantisipasi penurunan harga dari musim dingin ke musim semi. Maunya harga berkisar US$ 22-28 per barel, ternyata meroket ke US$ 40 lebih. Itu pun sebelum negara-negara OPEC sempat mengurangi produksinya.
<br />
<br />
Jadilah negara produsen dan konsumen saling tunjuk hidung. AS menyalahkan OPEC yang membatasi produksi. OPEC membalas pasokan minyak tak kurang, harga naik, terutama karena spekulasi pedagang minyak di pasar future.
<br />
<br />
Dua-duanya ada benarnya. Pasok minyak jelas bermasalah. Ladang minyak negara-negara OPEC, kecuali Arab Saudi, sudah dipacu pada kapasitas penuh. Begitu juga dengan bukan OPEC. Sementara itu, produksi minyak Irak terus terganggu karena sabotase, dan kurang pasok akibat krisis minyak Venezuela beberapa waktu lalu belum sepenuhnya tertutupi.
<br />
<br />
Spekulasi pun membumbui. Ini bukan tak berdasar, sebut saja ketidakpastian sesudah penyerahan kekuasaan dan sabotase fasilitas minyak di Irak. Belum kemungkinan serangan teroris pada fasilitas minyak di Arab Saudi. Pedagang ramai-ramai bertaruh: taruhannya harga akan terus naik. Tak hanya harga di pasar spot yang meroket, harga future untuk pengiriman satu tahun ke depan juga.
<br />
<br />
Pasok minyak terganggu, permintaan juga meningkat sejalan dengan pemulihan ekonomi dunia. Ekonomi Asia Timur yang baru bangkit dari resesi menyedot lebih banyak minyak. Ekonomi raksasa baru yang akhir-akhir ini tumbuh tinggi, Cina dan India, juga. Cina, misalnya, membutuhkan 6 juta barel per hari, bertambah satu juta dibanding tahun lalu.
<br />
<br />
Kebutuhan minyak negara-negara maju juga meningkat. Jepang dan Eropa, misalnya, tumbuh tinggi di luar perkiraan. Di AS, ketika driving season akan berlangsung akhir Mei ini, beberapa kilang minyak justru turun mesin. Perbedaan regulasi emisi gas antarnegara bagian AS juga memperparah ketimpangan pasok dan permintaan.
<br />
<br />
Semua ini seharusnya jadi lonceng peringatan bagi pemerintah.
<br />
<br />
Indonesia sudah jadi negara pengimpor bersih sehingga lonjakan harga minyak tak lagi identik dengan rezeki nomplok. Sebagai negara konsumen minyak dan pengekspor nonmigas, kita justru dirugikan kalau harga minyak terlalu tinggi.
<br />
<br />
Ekonomi Indonesia, seperti umumnya negara berkembang, boros energi. Subsidi minyak banyak berperan di sini. Kalau penggunaan energi mau lebih efisien, subsidi perlu terus dikurangi secara bertahap. Konsumen juga akan terdorong menggunakan energi alternatif seperti gas dan panas bumi sehingga ketergantungan ekonomi pada minyak berkurang.
<br />
<br />
Sekalipun cadangan minyak kita terbatas, masih banyak yang belum termanfaatkan. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong usaha eksplorasi minyak. Kritik pada Undang-Undang Migas yang membebani eksplorasi minyak dengan berbagai pajak perlu segera diatasi.
<br />
<br />
Untuk jangka pendek beberapa tahun mendatang, kita harap pemerintah lebih awas pada perkembangan harga minyak dan dampaknya pada ekonomi. Kalau harga minyak bertahan tinggi, sebaiknya penurunan defisit anggaran diperlambat. Kebijakan moneter juga perlu mengakomodasi setiap potensi pertumbuhan, bukan hanya difokuskan pada target inflasi dan rupiah.
<br />
<br />
Kita tentu tidak ingin ekonomi yang sedang bangkit ini tergelincir minyak.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103769190079922572004-05-13T00:31:00.000+08:002013-10-21T15:14:13.422+08:00Utak-atik tata niaga pupuk<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/05/14/13368/Utak-atik-Tata-Niaga-Pupuk">Koran Tempo 13/05/2004</a>. Pupuk langka sudah biasa. Apakah akibat tata niaga?
<br />
<br />
Kelihatannya begitu. Memang ironis: tata niaga diberlakukan untuk menjamin ketersediaan pupuk, tapi dalam beberapa tahun terakhir, mungkin justru tata niagalah biang kerok kelangkaannya.
<br />
<br />
Tata niaga pupuk telah dibongkar-pasang berkali-kali. Perkembangan terakhirnya, pada 1997 dibentuk perusahaan induk BUMN pupuk dengan Pusri memonopoli distribusi dan pemasarannya. Akhir 1998 tata niaga dibubarkan. Semua subsidi dihapus kecuali untuk penyaluran ke daerah terpencil. Pada tahun 2000 produsen kembali mendapat potongan harga gas, bahan baku utama pupuk. Setahun kemudian, tata niaga pupuk untuk tanaman pangan dan perkebunan rakyat diberlakukan lagi dengan Pusri memonopoli distribusinya.
<br />
<br />
Akhirnya, tahun lalu sekali lagi tata niaga dirombak. Kali ini produsen tetap mendapat potongan harga gas, tapi monopoli Pusri dicabut. Gantinya diterapkan rayonisasi distribusi pupuk, satu atau beberapa provinsi untuk setiap produsen. Produsen wajib memasok pupuk ke distributor sampai ke tingkat kabupaten pada harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah.
<br />
<br />
Sayangnya, apa pun bentuk tata niaganya, pupuk sering langka pada saat petani membutuhkannya. Akhir-akhir ini terutama di sebagian Sumatera Utara dan daerah Pantura.
<br />
<br />
Kalau pupuk langka, produsen sering dituding sebagai kambing hitam. Tuduhan yang masuk akal karena dulu distribusi pupuk dimonopoli Pusri, dan sekarang setiap rayon dimonopoli satu produsen.
<br />
<br />
Akan tetapi, kelangkaan terjadi sering bukan karena kurang pasokan. Faktanya, menurut PT Pupuk Kujang, pasokan pupuk di Jawa Barat, misalnya, lebih dari perkiraan kebutuhan. Penyebab utamanya adalah harga yang terlalu rendah. Pada harga eceran tertinggi Rp 1.050 per kilogram, permintaan pupuk di lapangan lebih tinggi ketimbang yang diperkirakan.
<br />
<br />
Harga rendah memicu spekulasi. Sebagian pengecer dan distributor terdorong menimbun pupuk, berharap harga pupuk naik dalam waktu dekat. Apalagi beberapa waktu lalu pasar pupuk sempat terganggu, karena gangguan pasok gas ke pabrik pupuk maupun karena kerusakan sebagian pabrik pupuk.
<br />
<br />
Dampak harga rendah ini makin parah karena distribusi pupuk diatur sangat terperinci. Secara resmi distributor hanya boleh menyalurkan pupuk bersubsidi ke pengecer terdaftar, dan pengecer pada petani, di wilayah peruntukan yang sudah ditentukan. Kalau di suatu daerah permintaan naik drastis--karena pergantian pola tanam, perubahan cuaca, atau karena penambahan penggunaan pupuk--pupuk bisa hilang dalam sekejap.
<br />
<br />
Harga pun naik. Pengecer di daerah lain secara ilegal bisa memasok kekurangan ini. Akibatnya, di wilayah operasinya sendiri pupuk jadi langka. Alhasil, kelangkaan terjadi meluas sebelum produsen yang bertanggung jawab di daerah itu menyadari apa yang terjadi.
<br />
<br />
Karena harga pupuk jauh lebih tinggi dibanding pupuk bersubsidi untuk tanaman pangan, sebagian distributor mungkin secara ilegal menjual pupuk ke perkebunan besar. Walaupun kebutuhan pupuk perkebunan besar sedikit, karena pupuk merupakan bahan baku pokok bagi petani yang sulit dikurangi, dampaknya pada harga besar. Sekali lagi, pupuk bersubsidi "menghilang" dari pasar.
<br />
<br />
Tambahan lagi, penyelundupan selalu menghalangi pelaksanaan tata niaga di negeri ini. Karena harga internasional pupuk per ton bisa US$ 50 lebih tinggi, sebagian pupuk bersubsidi mungkin secara ilegal diekspor ke luar negeri.
<br />
<br />
Di atas kertas, dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 70 Tahun 2003, tata niaga pupuk sangat ambisius. Tata niaga diatur secara mendetail, lengkap dengan sistem pengawasan antara produsen dan distributor maupun antara distributor dan pengecer. Pembelian, penjualan, dan stok pupuk dilaporkan secara rutin ke produsen atau distributor dengan tembusan ke instansi pemerintah terkait.
<br />
<br />
Di lapangan, tampaknya lain lagi ceritanya. Gambaran indah tata niaga berubah muram. Mungkin karena terlalu banyak kemungkinan penyelewengan, atau karena sangat sulit mengaudit pelaksanaan kontrak secara akurat.
<br />
<br />
Jadi, apa solusinya?
<br />
<br />
Tata niaga sekarang, subsidi gas dan rayonisasi distribusi bisa dipertahankan. Akan tetapi, supaya berhasil, persyaratannya berat: produsen, distributor, dan pengecer yang bertanggung jawab pada distribusi pupuk di suatu daerah harus bisa diaudit secara akurat dan setiap pelanggaran diberi penalti berat. Persyaratan yang mungkin mustahil dipenuhi.
<br />
<br />
Di samping itu, dalam jangka panjang, biaya tata niaga bisa sangat mahal. Industri pupuk mungkin tidak akan kompetitif karena selalu terbuai subsidi pemerintah.
<br />
<br />
Dalam setiap regulasi harga, pemerintah sulit menentukan berapa besar subsidi yang tepat. Biasanya, pemerintah kemudian terpaksa memberi subsidi yang memungkinkan produsen yang paling tak efisien mendapat laba "normal". Akibatnya, produsen paling efisien menikmati untung besar, sedangkan pabrik tak efisien yang seharusnya ditutup dibiarkan tetap hidup.
<br />
<br />
Alternatifnya, pupuk konsumsi dalam negeri tetap disubsidi, tapi rayonisasi dihapuskan. Setiap produsen boleh menjual pupuknya di mana pun kepada siapa pun pada harga eceran tertinggi. Ekspor juga diizinkan. Untuk menjaga pasokan pupuk dalam negeri dan mengurangi penyelundupan, ekspor dikenakan pajak ekspor yang sepadan.
<br />
<br />
Pelaksanaannya lebih mudah dibandingkan dengan tata niaga yang diterapkan saat ini. Tetapi, biaya subsidinya mungkin lebih besar, walaupun sebagian bisa ditutupi oleh penerimaan pajak ekspor.
<br />
<br />
Atau pemerintah bisa juga menghapuskan tata niaga dan menyerahkan perdagangan pupuk dalam negeri pada mekanisme pasar. Untuk menjamin petani kecil mampu membeli pupuk, pemerintah menyalurkan subsidi secara langsung kepada petani, misalnya lewat mekanisme jaring pengaman sosial.
<br />
<br />
Apa pun yang dipilih, pemerintah tetap terbebani subsidi. Pertanyaannya adalah sistem apa yang membutuhkan subsidi paling sedikit dan pada saat yang sama paling menjamin ketersediaan pupuk bagi petani tanaman pangan.
<br />
<br />
Jawabannya, tampaknya, bukan tata niaga yang diterapkan saat ini.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103779259165976972004-04-29T13:19:00.000+08:002013-10-21T15:14:44.060+08:00Sehat tapi pailit<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/05/01/12426/Sehat-tapi-Pailit">Koran Tempo 29/04/2004</a>. Perusahaan kelas dunia seperti Prudential pun, kalau melanggar kontrak, terpaksa bertekuk lutut.
<br />
<br />
Itulah keindahan Undang-Undang Kepailitan. Berkat UU yang disahkan pada 1998 ini, fondasi ekonomi Indonesia diperkokoh: hak milik individu, siapa pun dia, lebih terjaga; kontrak yakin terlaksana; dan kepastian berusaha terjamin. Karena kepentingannya dilindungi UU, pengusaha tak ragu mengambil risiko bisnis. Karena percaya kontrak ditegakkan oleh pengadilan, kreditor pun tak perlu ragu meminjamkan uangnya untuk diputar di dunia bisnis.
<br />
<br />
Atau tepatnya, itulah yang kita harapkan dari UU Kepailitan. Namun, mendengar berita pemailitan perusahaan asuransi PT Prudential Life Assurance, justru kesimpang-siuran yang terkesan.
<br />
<br />
Cerita singkatnya begini: Lee Boon Siong bekerja sebagai agen penjual produk asuransi Prudential. Menurut perjanjian, kalau target penjualan tercapai, Prudential memberi bonus. Tetapi, ketika target terpenuhi, kontrak diputus Prudential secara sepihak. Lee kehilangan bonus sekitar Rp 5 miliar. Juga potensi angsuran bonus sampai 2013 senilai Rp 360 miliar.
<br />
<br />
Itu menurut Lee. Prudential menampik. Lee mengajukan Prudential ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dan minggu lalu pengadilan memenangkan Lee dan memailitkan Prudential.
<br />
<br />
Pertanyaannya adalah apakah keputusan pengadilan yang melegalkan tuntutan Lee bisa dibenarkan? Mengingat sejarah kotor pengadilan kita dan kontroversi pemailitan Manulife dua tahun lalu, banyak yang mempertanyakannya. Jangan-jangan semua ini hanya sirkus hukum yang memanfaatkan kelemahan UU Kepailitan dan sistem peradilan kita.
<br />
<br />
Kalaupun pengadilan benar tuntutan Lee sah, masih ada pertanyaan lain: apakah pemailitan solusi terbaik? Tak adakah pilihan penyelesaian lain?
<br />
<br />
Sulit diterima akal. Prudential perusahaan yang sehat, terkelola baik, dan bereputasi tinggi. Rasio kecukupan modalnya pada 2003 sebesar 255 persen, jauh dari persyaratan minimum 100 persen. Keuangannya juga lancar dengan tingkat likuiditas 110 persen. Tahun lalu Prudential menggandakan pendapatan premi, dua kali lipat lebih; dan membukukan laba Rp 78 miliar. Lagi pula, kalau tuntutan Lee sah, kewajiban Prudential pada Lee pun tak sampai enam miliar, tak sebanding dengan kekayaannya yang Rp 1,5 triliun rupiah. Sisanya masih bisa diangsur sampai 2013.
<br />
<br />
Apakah tidak lebih baik pengadilan memerintahkan Prudential segera membayar kewajiban yang sekitar lima miliar itu, dan mencicil sisanya sampai 2013 sesuai dengan kontrak yang diklaim Lee?
<br />
<br />
Tak bisa tidak, kasus Prudential ini mempertontonkan muka buruk UU Kepailitan dan sistem peradilan kita. Pertama, terlalu mudah bagi kreditor memailitkan perusahaan yang sehat sekalipun, kadang hanya karena sengketa utang yang keberadaannya masih bisa diperdebatkan. Tak ada batasan minimum tagihan, tak ada pertimbangan nilai kekayaan perusahaan.
<br />
<br />
Kemudahan kreditor mengambil kembali uang yang ditanamkannya memang harus dijamin UU Kepailitan, justru jaminan inilah kekuatannya. Kalau pengelola teledor atau perusahaan rugi, kreditor bisa meminta pengadilan menyita kekayaan perusahaan dan kemudian menjualnya. Masalahnya, mengingat reputasi peradilan yang sarat korupsi, makin ringan syarat pemailitan, makin rentan UU ini disalahgunakan.
<br />
<br />
Kedua, UU Kepailitan tidak mempertimbangkan dampak sosial penutupan perusahaan. Untuk perusahaan asuransi seperti Prudential, ini sangat penting. Ribuan pemegang polis akan gelagapan kalau perusahaan asuransinya yang sehat walafiat tiba-tiba dipailitkan. Apalagi pemerintah yang mengatur dan mengawasi industri asuransi sama sekali tidak dilibatkan dalam pemailitan. Padahal, pemerintah sangat berkepentingan menjamin kestabilan industri keuangan dan menjaga kepentingan pemegang polis.
<br />
<br />
Mungkin industri asuransi sebaiknya dikecualikan dalam UU Kepailitan, hanya bisa dipailitkan pemerintah seperti halnya industri perbankan. Atau setidaknya pemailitannya atas persetujuan pemerintah.
<br />
<br />
Ketiga, yang mungkin paling penting, kasus Prudential ini gagal menjaga semangat yang mendasari pelaksanaan UU Kepailitan. Seharusnya, tujuan utama UU Kepailitan adalah mengoptimalkan kepentingan seluruh stakeholder, bukan hanya kreditor. Karena sehat dan bisa memenuhi kewajibannya, sebaiknya Prudential dibolehkan terus beroperasi. Pengadilan memailitkan perusahaan hanya kalau tak bisa diselamatkan lagi untuk memaksimalkan tingkat pengembalian bagi pemodal dan kreditor.
<br />
<br />
Pemailitan juga seharusnya digunakan untuk menghukum pengelola dan pemilik perusahaan yang sembrono. Kalau tak mau perusahaannya diambil alih, manajemen terdorong mengelola perusahaan dengan baik dan hati-hati. Anehnya, perusahaan sehat dan bereputasi pun ternyata bisa tiba-tiba pailit.
<br />
<br />
Pemailitan juga seharusnya hanya menjadi jalan terakhir setelah semua jalan lain buntu karena kepailitan sangat mahal biayanya bagi ekonomi. Akan ada pekerja yang dipecat dan aset yang salah urus ketika diambil alih. Pemerintah pun kehilangan potensi penerimaan pajak kalau perusahaan yang dipailitkan sebenarnya masih bisa diselamatkan.
<br />
<br />
Pengadilan sebaiknya menggunakan UU Kepailitan sebagai tongkat yang mendorong kreditor dan debitor untuk duduk bersama menyelesaikan masalah mereka. Kalau perlu, dengan merestruktur utang perusahaan.
<br />
<br />
Sekarang UU Kepailitan sedang diamendemen. Diusulkan kreditor hanya boleh memailitkan perusahaan kalau nilai utangnya lebih dari setengah total utang perusahaan. Ini langkah bagus untuk membatasi pemailitan yang tak perlu, tapi mungkin batasnya terlalu tinggi sehingga merugikan kreditor kecil.
<br />
<br />
Pilihan restrukturisasi utang juga akan diutamakan, atas usul pengelola, kreditor, atau pemegang saham. Untuk menjaga akuntabilitas hakim, setiap putusan harus terbuka untuk umum, termasuk dissenting opinion. Perusahaan asuransi juga hanya akan bisa dipailitkan oleh pengawasnya, Departemen Keuangan.
<br />
<br />
Singkatnya, kasus Prudential ini menggarisbawahi empat hal. Amendemen UU Kepailitan tidak boleh ditunda lagi. Semangat UU Kepailitan sebagai tongkat yang mendorong kreditor dan debitor duduk bersama seharusnya ditekankan dalam amendemen itu. Untuk menjaga kepentingan pemegang polis kalau perusahaan asuransinya pailit, pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana sebaiknya sistem jaring pengaman industri asuransi.
<br />
<br />
Di atas semua itu, peradilan perlu dibersihkan dari korupsi, setiap pelanggaran harus dihukum berat. Amendemen UU Kepailitan sebaik apa pun tak akan berarti tanpanya.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1103779346072052552004-04-15T20:21:00.000+08:002013-10-21T15:15:19.238+08:00Bankir sontoloyo<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/04/16/11360/Bankir-Sontoloyo">Koran Tempo 15/04/2004</a>. Rupiah demi rupiah kita tabung di bank, hasil kerja keras banting tulang, untuk biaya sekolah anak atau simpanan hari tua. Tapi apa yang bankir lakukan?
<br />
<br />
Banyak bankir sejati yang hati-hati mengelola uang titipan kita. Tapi tak sedikit yang mempertaruhkannya di meja rolet bisnis spekulatif berisiko tinggi. Bahkan ada bandit berdasi yang tega merampok banknya sendiri.
<br />
<br />
Memang mengerikan, tapi masih bisa terjadi. Padahal, pemerintah sudah menghabiskan ratusan triliun rupiah untuk menyehatkan perbankan. Kasus terakhirnya Bank Dagang Bali (BDB) dan Bank Asiatic yang ditutup pekan lalu.
<br />
<br />
Bank Indonesia (BI) sudah mencium bau amis transaksi BDB sejak Agustus 2002. Menurut Kepala Kantor BI Denpasar Lukman Boenjamin, puluhan kredit disalurkan ke sembilan perusahaan bohongan (Koran Tempo, 13/4). Diperingatkan BI, BDB bukannya beres-beres, malah menutup lubang kredit fiktif dengan menggali lubang baru, menerbitkan obligasi Rp 700 miliar. Anehnya, diperiksa ke Badan Pengawas Pasar Modal, obligasi itu tak terdaftar. Melihat gelagat buruk itu, BI mengawasi BDB secara intensif.
<br />
<br />
Ulah BDB tak berhenti di sini: sertifikat deposito (NCD) senilai hampir satu triliun diberikan ke Bank Asiatic, banknya besan pemilik BDB. Menggunakan surat utang itu sebagai jaminan, Asiatic meminjam sekian ratus miliar ke bank lain yang kemudian disalurkan ke perusahaan terkait. Ini mungkin teknik akrobatik mengelabui aturan pembatasan penyaluran kredit pada perusahaan kelompok sendiri (BMPK).
<br />
<br />
Sialnya, kredit itu pun kemudian macet. Akibatnya, tak hanya Asiatic yang gelagapan, BDB juga makin tenggelam.
<br />
<br />
Singkat cerita, BDB dan Asiatic masuk ruang gawat darurat BI. Pemilik BDB dan Asiatic lempar handuk, tak mampu menutupi kewajiban banknya dan memperkuat modal. BI mencari pemodal baru, tapi tak ada yang tertarik. Tak ada jalan lain, akhirnya BDB dan Asiatic pun ditutup.
<br />
<br />
Pesta usai sudah, tinggallah pemerintah yang ketiban pekerjaan kotornya. Karena seluruh tabungan masih dijamin, pemerintah harus menutupi Rp 2,4 triliun dana pihak ketiga di kedua bank. Untungnya, pemilik dan pengurus bank sudah dicekal dan kasus pidananya diserahkan ke kepolisian. Aset pemilik juga sudah diambil alih. Sebagian aset bank juga bisa dijual atau dialihkan ke bank lain.
<br />
<br />
Sekarang kita hanya bisa berharap kegagalan penutupan bank dulu tidak terulang: penjualan aset lancar, tingkat pengembalian tinggi, kerugian pemerintah kecil, dan setiap bankir jahat dihukum berat oleh pengadilan.
<br />
<br />
Dipikir-pikir, penutupan Asiatic dan BDB adalah langkah jitu. Tampaknya nasib BDB dan Asiatic memang sudah tak bisa diharapkan. Kalau dulu BI harus bolak-balik ke istana sebelum memutuskan bank apa yang ditutup, sekarang BI bisa memutuskan sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
<br />
<br />
Untungnya lagi, nasabah perbankan tak panik. Mungkin berkat jaminan menyeluruh dana pihak ketiga, atau masyarakat makin percaya pada kemandirian BI. Atau mungkin karena BDB dan Asiatic hanya bank kecil bernasabah sedikit.
<br />
<br />
Dampaknya pada industri perbankan dan ekonomi juga terbatas, kecuali mungkin pada bank kecil. BI membuktikan tak segan-segan menutup bank yang bobrok, dan ini terapi kejut bagi bank kecil. Mereka perlu berpikir dua kali sebelum mengelabui BMPK atau melanggar prinsip kehati-hatian perbankan. Mungkin juga ada peralihan dana dari bank kecil ke bank besar, tapi selama jaminan menyeluruh belum dihapuskan jumlahnya tak berarti.
<br />
<br />
Tapi dipikir lebih dalam lagi, kejadian ini juga mengkhawatirkan. Sekalipun sekarang pengawasan perbankan lebih bagus, skandal perbankan ternyata belum sepenuhnya dicegah, termasuk perampokan bank oleh pemiliknya sendiri. Kita juga bertanya-tanya apakah alat deteksi dini BI bekerja baik, dan prosedur penyelesaian bank bangkrut efektif untuk meminimalkan kerugian pemerintah.
<br />
<br />
Kasus BDB, misalnya, menyimpan banyak pertanyaan. BI sudah mendeteksi kredit fiktif BDB pada Agustus 2002. Kredit fiktif bukan keteledoran bisnis semata, tapi sudah indikasi kejahatan. Mengapa BI tidak menuntutnya secara pidana? Begitu juga ketika kemudian BDB gali lubang tutup lubang dengan obligasi bohongan, mengapa BI masih memberi kesempatan pada pemilik? Mengapa pula BDB masih bisa menempatkan dana hampir satu triliun rupiah ke Asiatic? Mengapa BDB tidak langsung diambil alih mumpung nilainya belum minus?
<br />
<br />
Tentu harus diakui BI telah berusaha memperkuat struktur perbankan dengan melaksanakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan menegakkan prinsip kehati-hatian dengan mengadopsi Basel Accord. Sekarang pun BI mulai menyiapkan manajemen risiko perbankan. Tapi apakah Basel cukup mengatasi kebobrokan perbankan?
<br />
<br />
Basel sebenarnya dirancang untuk menyetarakan kompetisi bank antarnegara dan membatasi risiko perbankan di negara maju. Untuk bisa efektif, diperlukan regulator yang mandiri dan berkemampuan, struktur keuangan yang dalam, penegakan hukum yang kuat, dan tata kelola perusahaan yang bagus. Lalu, apakah kita bisa memenuhi persyaratan ini?
<br />
<br />
Apalagi sekarang bank-bank kecil dipaksa memperkuat modalnya kalau ingin tetap beroperasi. Bank kecil tentu tak mudah menambah modal atau menerbitkan obligasi (subordinated debt) seperti bank besar. Akibatnya, bank kecil lebih terdorong mengambil risiko untuk menambah laba ditahan. Kalau untung, modal bertambah dan bank selamat. Kalau buntung, bankir hanya mempertaruhkan modal yang tak seberapa.
<br />
<br />
Singkatnya, API tak cukup. Perbankan juga perlu diatur dan diawasi dengan kebijakan yang lebih keras dan tegas.
<br />
<br />
Meneropong bank dari Jalan Kebon Sirih lewat laporan keuangan tidak memadai. Bank mudah sekali membungkus boroknya dalam laporan keuangan tanpa terdeteksi audit akuntan publik. Konsekuensinya, BI perlu lebih sering ke lapangan untuk menguji kualitas aset dan manajemen bank, misalnya, minimal sekali dalam 18 bulan seperti di Amerika Serikat.
<br />
<br />
Pelaksanaan tata kelola bank keluarga dengan pemilik saham dominan perlu diawasi lebih ketat. Seperti yang diindikasikan terjadi di BDB dan Asiatic, aturan BMPK sangat mudah dikelabui. Kalau BI tidak sigap, bank bisa bangkrut dalam sekejap.
<br />
<br />
Uji deteksi dini BI perlu dipertajam. Tujuan BI bukan hanya menciptakan perbankan yang sehat dan kompetitif, tapi juga meminimalkan kerugian negara kalau bank bangkrut. BI harus berani menuntut pemilik dan pengurus secara pidana kalau memang ada indikasi ke arah itu.
<br />
<br />
Atau mungkin kita perlu melangkah lebih jauh mendorong pelaporan keuangan yang akurat seperti Selandia Baru. Di sana pengurus bank bertanggung jawab pada akurasi laporan keuangan, dan mereka bisa dituntut kalau menyajikan angka yang menyesatkan masyarakat.
<br />
<br />
Atau penabung lebih dilibatkan mengawasi bank seperti di Argentina. Di sana bank wajib memasang indikator dan status kesehatan bank di dinding kantornya. Penabung pun mudah tahu kesehatan banknya, dan kalau mau, bisa segera memindahkannya ke bank sehat.
<br />
<br />
Intinya, pelaksanaan API yang mengadopsi Basel Accord langkah tepat untuk mencegah bank mengambil risiko berlebihan, tapi sama sekali tidak cukup mengatasi kebobrokan industri perbankan di negara berkembang seperti Indonesia. BI juga perlu mengambil langkah yang lebih keras dan tegas.
<br />
<br />
Sementara itu, tahan napas dalam-dalam karena tak ada jaminan perbankan kita sepenuhnya bebas bankir sontoloyo.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141205917953658022004-03-25T17:37:00.000+08:002013-10-21T15:16:05.675+08:00Is it the economy, stupid?<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/03/26/9898/Is-It-the-Economy-Stupid">Koran Tempo 25/03/2004</a>. Di negeri ini, masalah perut dan politik erat terkait, pada revolusi 1960-an, juga 1998. Bagaimana dengan kampanye pemilihan umum 2004? Apakah ekonomi jadi isu penting?<br />
<br />
Mestinya begitu. Pemilu di mana pun, ekonomi jadi kunci. "It's the economy, Stupid," seru James Carville, manajer kampanye Bill Clinton pada 1992. Ekonomi suram jadi senjata ampuh oposisi menggebuk pemerintah berkuasa, seperti waktu Clinton menyingkirkan George Bush dulu. Sebaliknya, ekonomi cerah bisa menjamin partai berkuasa terpilih ulang.<br />
<br />
Jadi, pertanyaan sejuta dolarnya adalah apakah ekonomi sudah pulih? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak, tergantung pada siapa kita bertanya. Partai berkuasa akan bercerita ekonomi makin berkilau. Lawan politiknya cepat menyergah, "Siapa bilang? Ekonomi justru terpuruk makin dalam." Jalan keluarnya hanya satu: pilih pemimpin baru yang lebih mampu.<br />
<br />
PDIP dan koalisinya mungkin benar, makroekonomi sudah pulih. Inflasi rendah, rupiah stabil, bursa bergairah, obligasi pemerintah laku keras, defisit anggaran mengecil, dan ekonomi tumbuh lebih cepat. Sulit dibantah, ini kemajuan besar.<br />
<br />
Tapi, tak mudah menutup telinga dari pesimisme oposisi. Penganggur di mana-mana, konon 40 juta orang. Kalau benar sungguh angka yang mengerikan: satu dari tiga angkatan kerja Indonesia menganggur. Tak mungkin ekonomi pulih kalau penganggur sebanyak itu. Kita belum bicara korupsi yang menjadi-jadi, utang menggunung, atau konglomerat selamat dibebasutangkan.<br />
<br />
Secara obyektif, jawabannya tergantung pada apa definisi pulih. Teorinya, ekonomi bangkit dari resesi begitu ekonomi mulai ekspansi. Kalau begitu, ekonomi Indonesia sudah pulih sejak 1999.<br />
<br />
Tampaknya, tak banyak yang sepakat. Orang lebih mengerti ekonomi pulih kalau sudah kembali seperti sebelum krisis. Faktanya, kuartal ketiga tahun lalu pendapatan domestik bruto (PDB) sudah kembali ke nilainya pada 1997. Artinya, jempol buat pemerintah berkuasa.<br />
<br />
Kritik cepat menyela: PDB boleh pulih, tapi bagaimana dengan pertumbuhan? Ekonomi pulih kalau tumbuh 6-7 persen seperti dulu. Hanya pertumbuhan setinggi itu yang mampu menyerap tambahan angkatan kerja.<br />
<br />
Dari kacamata ini, ekonomi masih terseok-seok. Tahun lalu tumbuh 4 persen, tahun ini mungkin 5. Akibatnya, angka pengangguran yang sudah tinggi terus meningkat. Jempol ditarik, pemerintah dapat angka merah.<br />
<br />
Apalagi, katanya, pertumbuhan ekonomi saat ini tidak berkelanjutan karena dimotori konsumsi. Investasi jalan di tempat, mungkin sampai pemodal melihat kinerja pemerintahan baru satu atau dua tahun lagi. Itu pun kalau pemerintah baru mampu menawarkan iklim investasi yang bersahabat.<br />
<br />
Ekonom sendiri terlihat hati-hati untuk tidak bicara ekonomi pulih. Entah mengapa. Mungkin karena masalah ekonomi Indonesia parah sehingga menyebut ekonomi sudah pulih terdengar sumbang. Atau ekonom ingin menekankan pemerintah harus kerja lebih keras lagi. Mengatakan ekonomi pulih bisa membuat pemerintah besar kepala dan kemudian berleha-leha. Ekonom dalam kabinet pun begitu, mereka mengakui perbaikan ekonomi baru sebatas stabilitas makroekonomi, belum menyentuh sektor riil.<br />
<br />
Jadi, ekonom, politikus, dan pemerintah tampaknya sepakat: banyak kemajuan, tapi ekonomi belum pulih. Partai berkuasa tak bisa menepuk dada, tapi oposisi pun tak mudah mencerca. Ekonomi yang biasanya jadi kunci kampanye pun akhirnya hanya jadi isu sampingan, itu pun sebatas retorika tanpa debat substantif masalah, tujuan dan pilihan kebijakan ekonomi yang sebaiknya dipilih pemerintah.<br />
<br />
Tapi, apa benar ekonomi belum pulih? Semua itu omong kosong, kata Prof. Mubyarto. Menurut dia, ekonomi konglomerat mati suri, tapi ekonomi rakyat dari dulu sudah menggeliat. Mubyarto juga tak henti-henti mengkritik ekonom yang hanya melihat statistik makro dan mengabaikan peran ekonomi rakyat.<br />
<br />
Saya bukan penggemar paham ekonomi Mubyarto, tapi pendapatnya tentang ekonomi pulih saya kira ada benarnya. Ekonomi menyusut hanya dua kuartal pada 1998, inflasi tinggi pun hanya setahun. Setelah itu, inflasi kembali ke sekitar 10 persen dan ekonomi tumbuh perlahan.<br />
<br />
Resesi parah terjadi di Pulau Jawa, terutama Jakarta dan Jawa Barat, yang menyusut hampir 18 persen pada 1998. Ekonomi luar Jawa hanya kontraksi sekitar 4 persen sebelum kemudian tumbuh kembali. Beberapa daerah bahkan tumbuh ketika resesi menimpa.<br />
<br />
Angka pengangguran memang mengerikan, tapi kita tidak punya statistik pengangguran yang akurat. Angka 40 juta hanya perkiraan kasar yang cuma pantas jadi retorika. Statistik resmi pengangguran terbuka "hanya" sekitar 10 juta orang.<br />
<br />
Apalagi, kemungkinan besar pengangguran yang meningkat waktu resesi telah turun kembali. Hampir semua orang Indonesia berusaha sendiri atau bekerja di usaha kecil dan menengah, sebagian besar di sektor informal. Sektor informal sangat fleksibel menampung tenaga kerja. Ketika pasokan pencari kerja baru melimpah-ruah, gaji jatuh menyesuaikan diri sebelum kemudian naik lagi ketika pencari kerja itu sudah terserap.<br />
<br />
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, angka kemiskinan sebenarnya lebih tepat untuk mengukur kesejahteraan. Sejalan dengan penurunan harga beras dan kenaikan penghasilan rakyat menengah ke bawah pascaresesi, daya beli masyarakat telah meningkat dan angka kemiskinan menurun.<br />
<br />
Pendapat Mubyarto ini didukung oleh survei kesejahteraan penduduk Indonesia karya John Strauss dari Michigan State University dkk. yang dipublikasikan baru-baru ini (Indonesian Living Standards: Before and After the Financial Crisis, ISEAS, 2004).<br />
<br />
Mereka menemukan kabar gembira: survei pada 1993, 1997, dan 2000 menunjukkan ekonomi memang telah pulih. Angka kemiskinan pada tahun 2000 sekitar 16 persen, bahkan lebih rendah ketimbang 1997 yang 18 persen. Penyerapan tenaga kerja lebih tinggi, 84 persen bagi pria dan 57 persen perempuan, bandingkan dengan berturut-turut 80 dan 46 persen pada 1997, atau dibanding pada waktu resesi 1998 yang tentu lebih rendah lagi. Indikator pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lainnya juga secara umum positif.<br />
<br />
Kembali ke kampanye 2004, isu ekonomi yang dikesampingkan ini bikin sedih sekaligus lega. Menyedihkan karena sebenarnya banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan.<br />
<br />
Seharusnya, ketika ekonomi sedang melambat, pemerintah menjalankan kebijakan fiskal yang ekspansif, atau setidaknya tidak memotong defisit terlalu drastis, untuk menstimulasi ekonomi. Bank Indonesia (BI) juga bisa menggunakan kebijakan moneter mengakomodasi potensi pertumbuhan, tidak mencekik ekonomi dengan uang superketat. Dua-duanya justru memilih sebaliknya: pemerintah berambisi memotong defisit anggaran, BI terobsesi pada rupiah dan inflasi.<br />
<br />
Partai besar yang berkuasa, dan kelihatannya akan tetap mendominasi, tak akan mengubah paradigma kebijakan ini. Partai baru pun baru sebatas menawarkan konsep ekonomi bak mimpi, tanpa program konkret yang siap diimplementasikan.<br />
<br />
Melegakan, karena menurut survei Strauss dkk. ekonomi sudah pulih, atau kalau Anda belum percaya, bisa pulih dengan sendirinya. Sekalipun tanpa uluran tangan pemerintah, ekonomi rakyat sudah bangkit dan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.<br />
<br />
Kali ini, kampanye cukup retorika, tak ada debat kebijakan ekonomi. Tampaknya baru itu yang bisa ditawarkan politikus kita saat ini.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141205830547924662004-03-11T17:36:00.000+08:002013-10-21T15:16:34.507+08:00Tarik-ulur ekspansi kredit<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/03/12/8829/Tarik-Ulur-Ekspansi-Kredit">Koran Tempo 11/03/2004</a>. Bagaimana bankir tak bingung. Rasanya baru kemarin Bank Indonesia gigih mengimbau bank menurunkan suku bunga dan menyalurkan kredit. Sekarang, tiba-tiba bank dikritik terlalu agresif memberi pinjaman.<br />
<br />
Kata pejabat Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan kredit dan ekonomi timpang: kredit ekspansi 20 persen, ekonomi hanya 4 persen. Salah-salah, krisis perbankan jilid kedua kembali menyerang.<br />
<br />
Karena mantan juragan yang bicara, bolehlah pemerintah mendengar. Tetapi, kalau pemerintah mengiyakan begitu saja dan BI membatasi ekspansi kredit, ekonomi bisa celaka.<br />
<br />
Sebenarnya tak jelas apa persisnya kritik IMF. Kalau maksudnya ada bank pemerintah yang ceroboh "menyalurkan" kredit, memang ada benarnya. Banyak bank membeli aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional, sebagian gagal merestrukturnya, dan akhirnya harus mencadangkan laba untuk menutupi kerugian. Kalau kemudian aset bermasalah ini macet, laporan keuangan bank bisa merah.<br />
<br />
Tapi kalau ekspansi kredit 20 persen itu yang tak disetujui, mengherankan dan sulit dimengerti.<br />
<br />
Selama diopname BPPN, banyak bank puasa menyalurkan kredit. Setelah disuntik dan dinyatakan sehat, bank mulai berjalan, sebagian berlari kecil. Kredit pun mulai mengucur. Hasilnya pertumbuhan 20 persen itu.<br />
<br />
Kenaikan yang impresif, tapi masih wajar. Sampai sekarang, rasio kredit terhadap dana yang dihimpun perbankan (LDR) tak sampai 50 persen. Posisi kredit pun masih empat ratusan triliun, lebih rendah dari puncaknya sebelum krisis. Itu pun nominalnya, belum memperhitungkan inflasi.<br />
<br />
Kalau bank dikritik karena beralih dari kredit investasi ke konsumsi, tidak sepenuhnya tepat. Ini juga bukan barang baru. Sejak dulu banyak analis yang memperingatkan bahaya bermain-main dengan kredit konsumsi. Bahkan bukan hanya kredit konsumsi yang dicurigai, peran konsumsi sebagai motor pertumbuhan pun dipandang sebelah mata.<br />
<br />
Katanya pertumbuhan yang dipicu konsumsi tidak berkelanjutan. Seharusnya investasi dan ekspor yang jadi motornya. Pertumbuhan konsumsi pun sudah beberapa kali mereka perkirakan melambat. Namun, konsumsi tetap berkibar, dan ekonomi perlahan bangkit. Tahun lalu tumbuh 4,1 persen; tahun ini mungkin 5 persen.<br />
<br />
Di banyak negara krisis, pemulihan ekonomi biasanya dimotori konsumsi. Satu atau dua kuartal kemudian, investasi mengikuti. Mula-mula investasi inventori ketika perusahaan mengantisipasi lonjakan permintaan. Kemudian, investasi perumahan. Investasi bisnis bangun paling akhir, setelah kapasitas terpasang banyak dioperasikan.<br />
<br />
Perbankan Indonesia hanya menaiki gelombang pemulihan ekonomi. Ketika gelombang konsumsi dan investasi perumahan datang, bank sigap berselancar menaikinya. Posisi kredit konsumsi yang pada 1999 Rp 24 triliun meningkat tajam ke Rp 112 triliun tahun lalu. Kredit properti meningkat dari Rp 26 triliun pada 1999 ke Rp 47 triliun tahun lalu.<br />
<br />
Untuk kredit berskala kecil, banyak bank bekerja sama dengan perusahaan pembiayaan. Bank menyediakan sebagian besar dana, perusahaan pembiayaan memberi akses pada peminjam, menganalisis kredit, menerima pembayaran cicilan, dan menyita jaminan kalau diperlukan.<br />
<br />
Sebaliknya, kredit investasi baru menggeliat, kalau tidak jalan di tempat. Sebagian besar kredit berskala kecil; perusahaan besar belum masuk radar kredit perbankan.<br />
<br />
Bukan hanya bank sekadar mengikuti gelombang pemulihan, banyak pengusaha enggan meminjam dari bank. Kalau tidak mengandalkan uang sendiri, mereka lebih suka menjual obligasi di pasar modal. Kalaupun meminjam dan sudah disetujui, kredit tidak dicairkan, kecuali terpaksa. Tahun lalu saja seratusan triliun rupiah kredit yang tidak dicairkan.<br />
<br />
Di samping itu, bank masih trauma pada pengalaman krisis 1998 dan takut memberi pinjaman pada perusahaan besar. Apalagi debitor lama mereka, pengusaha besar, banyak yang bermasalah, tak layak jadi peminjam.<br />
<br />
Memang sulit dipercaya: dulu bank menganakemaskan pengusaha besar dan melihat masyarakat hanya sebagai sumber dana murah. Sekarang mereka banting setir. Ini tidak hanya di Indonesia. Di banyak negara lain--Malaysia, Thailand, Cina, atau paling fenomenal Korea Selatan--kredit konsumsi tiba-tiba jadi primadona. Bank berlomba-lomba membiayai pembelian rumah, mobil, televisi, dan segala keperluan rumah tangga.<br />
<br />
Jadi, kritik IMF pada ekspansi kredit 20 persen atau dominasi kredit konsumsi tak mengena. Sebaliknya, BI tetap perlu mendorong bank menurunkan suku bunga dan menyalurkan kredit. Tentu, ketika ekspansi kredit sedang tinggi seperti sekarang, BI perlu lebih tegas menegakkan prinsip kehati-hatian perbankan.<br />
<br />
Persaingan bank merebut nasabah makin ketat. Iklan kredit konsumsi besar terpampang di mana-mana berebut menarik perhatian. Bank juga mungkin berlomba mempermudah persyaratan kredit. Kita lihat sendiri bagaimana agresifnya bank menawarkan kartu kredit.<br />
<br />
Padahal, kredit konsumsi berisiko tinggi. Memang saat ini non-performing loan (NPL)-nya hanya 2,7 persen, lebih rendah dibanding kredit modal kerja dan investasi yang berturut-turut 7 dan 11 persen. Tapi, kalau tak hati-hati, bisa cepat meningkat.<br />
<br />
Selama ini bank biasa mengelola kredit korporasi berskala besar, apakah mereka memahami risiko kredit konsumsi kacangan? Apalagi pekerjaan bank makin rumit karena kita tidak punya lembaga yang mengurus sejarah kredit individu.<br />
<br />
Bank bisa kerja sama dengan perusahaan pembiayaan yang lebih paham kredit konsumsi, tapi kemudian nasib bank bergantung pada kinerja partnernya. Kalau bank tidak hati-hati dan manajemen perusahaan pembiayaan pilihannya bobrok, bank menanggung risiko yang besar.<br />
<br />
Pesta kartu kredit seperti di Korea Selatan juga harus dihindari. Memang kepemilikan kartu kredit di Indonesia masih rendah, tak sampai 5 juta keping. Relatif kecil untuk ekonomi sebesar Indonesia, tak sebanding dengan Korea Selatan yang punya seratusan juta keping, rata-rata empat kartu per orang. Sekalipun begitu, BI perlu segera mengatur penerbitan kartu kredit ini, sebelum terlambat.<br />
<br />
Rencana BI mendirikan biro kredit sangat tepat. Sekarang penerbit kartu kredit sudah berbagi informasi tentang pemegang kartu kredit yang gagal bayar. Dengan biro kredit, bank lebih akurat lagi mengukur kelayakan kredit konsumsi yang diajukan nasabahnya.<br />
<br />
Perkembangan kredit properti sampai saat ini masih wajar, tapi kita perlu waspada pada spekulasi. Bank boleh meminta jaminan berlipat kali nilai kredit, tetapi kalau gelembung properti meledak, perkiraan harga dan tanah jatuh berkeping-keping dan bank tak mendapat apa-apa.<br />
<br />
Yang paling penting, bank perlu segera mengembangkan sistem manajemen risiko. Sekarang bank banyak merambah lahan baru: kredit usaha kecil, kredit konsumsi, atau kartu kredit. NPL kredit konsumsi saat ini rendah, tapi secara inheren risikonya tinggi. Sekarang masih selamat, tapi kalau tak hati-hati bisa terjerembab. Hanya manajemen risiko yang baik yang bisa memisahkan kredit emas dan jerami.<br />
<br />
Singkatnya, ekspansi 20 persen oke saja. Kalau bank ekspansi kredit properti, mobil, atau motor, dipersilakan. Kredit usaha kecil juga boleh. Sementara itu, investasi bisnis masih jalan di tempat, ekspansi kredit konsumsi ini justru kita harapkan mendorong pertumbuhan ekonomi ke 6-7 persen. Tentu BI wajib melengkapi rambu-rambunya dan mendorong bank agar hati-hati mengelola risiko.Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141205745954337322004-02-26T17:34:00.000+08:002013-10-21T15:17:23.904+08:00Ketika BPPN tutup warung<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/02/27/7727/Ketika-BPPN-Tutup-Warung">Koran Tempo 26/02/2004</a>. Kalau bicara tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, gambaran apa yang tebersit dalam pikiran Anda?<br />
<br />
Menjawab pertanyaan saya, seorang kawan dengan mudah menemukan belasan. Pengobral aset negara, bumper anggaran pemerintah, sarang patgulipat, sahib bankir jahat, pensiunan kaya, dan seterusnya. Tapi, pantaskah BPPN menyandang gelar dokter perbankan?<br />
<br />
Dia tertawa. "Paling jauh, tukang solek perbankan," katanya.<br />
<br />
Mungkin kawan saya nyinyir. Yang pasti, BPPN sangat kontroversial. Dan besok, badan ini akan menutup warungnya.<br />
<br />
Seburuk itukah kinerja BPPN? Apa artinya bagi kita semua, dan pelajaran apa yang kita peroleh?<br />
<br />
Kata Syafruddin Temenggung, ketuanya, BPPN cukup sukses. Dari aset bernilai Rp 600 triliun lebih yang diambil alih dari perbankan pada 1998, BPPN berhasil mengembalikan Rp 172 triliun, sekitar 28 persennya. Tingkat pengembalian ini, katanya, sebanding dengan BPPN-nya negara krisis lain.<br />
<br />
Apa betul begitu? Tingkat pengembalian di Thailand dan Korea Selatan lebih tinggi, 30-40 persen. Di Malaysia bahkan 50 persen lebih. Ketiganya diperoleh dalam rentang waktu yang lebih singkat.<br />
<br />
Angka 28 persennya BPPN itu pun masih tingkat pengembalian kotor. Karena digerogoti inflasi selama lima tahun terakhir, tingkat pengembalian bersihnya mungkin hanya belasan persen. Kalau ada yang bilang ini pertanda sukses, dia pasti sedang melawak.<br />
<br />
Pengembalian aset dapat angka merah, bagaimana dengan kesehatan bank pasien yang dirawatnya?<br />
<br />
Keluar dari ruang gawat darurat BPPN, perbankan tampak segar bugar. Permodalan perbankan lebih kuat, rasio kecukupan modal yang pada 1998 negatif sekarang 20-an persen. Kredit macet dipangkas, dari sekitar 50 menjadi 5 persen saat ini. Tingkat keuntungan bank juga meningkat.<br />
<br />
Namun, ini hanya tampak luar, karena solekan pemerintah yang luar biasa. Pada 1998, kredit macet perbankan dialihkan ke BPPN. Sebagai gantinya, bank mendapat obligasi pemerintah. Dilumuri bedak tebal, wajah perbankan yang pucat-pasi seketika pulih. Indikator keuangan perbankan yang tadinya merah pun langsung biru kembali.<br />
<br />
Sesederhana itu. Tak kurang dari Muliaman Hadad, Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia, mengatakan pada sebuah seminar pekan lalu bahwa sampai saat ini indikator keuangan masih jadi fokus utama, pengelolaan risiko dan kontrol internal bank belum banyak disentuh. Kita juga baru saja melihat begitu mudah BNI dan BRI dibobol triliunan rupiah. Sedihnya lagi, diduga karena keterlibatan orang dalam.<br />
<br />
Indikator keuangan boleh berkilau, tapi kalau industri perbankan tetap rapuh, wajah memukau itu tak berarti apa-apa. Terkena kejutan kecil saja borok kredit macet perbankan bisa menganga dan perbankan kembali sempoyongan.<br />
<br />
Tugas ketiga BPPN, restrukturisasi sektor riil, jangan ditanya lagi. BPPN kadang melepas aset begitu saja tanpa memperbaikinya terlebih dulu, kadang pada saat yang tidak tepat. Akibatnya, tak hanya tingkat pengembalian rendah, kesempatan memperkuat struktur ekonomi Indonesia juga hilang begitu saja. Sebagian aset ini dibeli bank kembali, tentu termasuk dengan risiko macetnya.<br />
<br />
BPPN boleh berkilah kita dihantam krisis dan, mau tak mau, kita harus menanggung biayanya. Biaya krisis tentu ada, tapi tak sedikit bantuan likuiditas pada 1998 digerogoti maling di sana-sini. Banyak pemilik bank menyerahkan aset yang digelembungkan nilainya, dan waktu itu pemerintah pun menerimanya begitu saja. Sudah bernilai rendah, karena krisis, nilainya terus turun. Belum bankir yang menggunakan bantuan likuiditas untuk membiayai perusahaan pribadinya, atau melarikannya ke luar negeri.<br />
<br />
BPPN bisa membela diri, mereka menerima sekeranjang aset sampah dari perbankan. Namanya sampah, dipermak seperti apa pun, jangan harap nilai jualnya tinggi. Selama lima tahun berdiri, mereka juga harus bekerja di tengah ketidakpastian permainan hukum dan politik. Bayangkan bagaimana tarik-menarik kepentingan yang harus dihadapi dengan empat presiden dan tujuh ketua hanya dalam lima tahun hidupnya.<br />
<br />
Belum lagi tugas yang saling bertentangan: memaksimalkan tingkat pengembalian perlu waktu, tapi untuk menutupi defisit anggaran, aset harus segera dijual. Jadilah BPPN seperti sopir bus yang ngebut jual ini-itu mengejar setoran.<br />
<br />
Ini tentu harus diakui, tapi pada saat yang sama sulit untuk menutup telinga dari ingar-bingar keributan setiap BPPN melelang aset. Tentang penjualan yang kadang terkesan dipaksakan, kemungkinan permainan pembeli dengan orang dalam, kolusi sesama pembeli, atau tentang kemungkinan penjualan aset ke pemilik lama dengan potongan habis-habisan. Kalau asap mengepul di mana-mana, mana mungkin tak ada api?<br />
<br />
Apa pun, biaya ratusan triliun telah dibayar. Dan biaya adalah biaya, tak bisa tidak harus ada yang membayarnya. Kalau pemilik bank tak dipaksa membayar, rakyat kecil jugalah yang akhirnya menanggung: dengan APBN ketat, sekolah roboh, jalan rusak, dan pengangguran tinggi.<br />
<br />
Kita belum bicara gaji puluhan dan ratusan juta pejabat BPPN, berkali lipat dari gaji menteri sekalipun. Dengan total pesangon ratusan miliar pula. Tentu kalau kerja bagus, gaji tinggi tak jadi masalah. Tapi bagaimana kalau tingkat pengembalian bersih hanya belasan persen?<br />
<br />
Besok BPPN boleh tutup usia, tapi dia akan menghantui kita dalam waktu lama. Pertama, karena ratusan triliun rupiah aset menguap, bunga obligasi rekap akan selalu membebani anggaran pemerintah, mungkin sampai belasan tahun mendatang.<br />
<br />
Sekian banyak pekerjaan rumah BPPN juga harus diselesaikan. Bank Permata belum terjual, begitu juga dengan ribuan aset bermasalah lainnya. Nilai bukunya puluhan triliun rupiah. Aset yang bisa dijual akan dialihkan ke perusahaan pengelola aset. Entah berapa harga pasarnya.<br />
<br />
Sebagian pengutang sudah mendapat surat keterangan lunas, sebagian lain menolak kerja sama. Kasus mereka dan aset yang bermasalah lainnya akan diajukan ke pengadilan. Tuntut-menuntut sulit dihindari.<br />
<br />
Di samping itu, Badan Pemeriksa Keuangan masih mengaudit kinerja BPPN. Pemerintah boleh menjamin pejabat BPPN dari tuntutan hukum pengutang, tapi setiap penyelewengan kekuasaan tetap harus diajukan ke pengadilan.<br />
<br />
Dari drama BPPN ini, kita harusnya belajar banyak. Pertama, bank sangat rapuh, apalagi di lingkungan bisnis korup dan tipu-menipu seperti Indonesia. Kalau tak ingin jatuh dua kali, struktur perbankan harus diperkuat, manajemen risiko dan kontrol internal perlu diperbaiki, prinsip kehati-hatian perbankan harus ditegakkan.<br />
<br />
Pascakrisis, Malaysia dan Korea Selatan berhasil memangkas jumlah banknya menjadi hanya belasan buah. Pemerintah dan BI juga perlu mendorong konsolidasi perbankan dan menegakkan prinsip kehati-hatian perbankan, dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia.<br />
<br />
Kedua, kunci malapetaka BPPN ini adalah penyaluran bantuan likuiditas secara jorjoran pada 1998. Sekarang sudah diundangkan BI, sebagai penalang dana terakhir perbankan, hanya boleh memberi bantuan likuiditas pada bank sehat, itu pun dengan jaminan aset likuid.<br />
<br />
Ketiga, bank sakit harus masuk ruang gawat darurat, diinjeksi modal oleh pemegang saham, dikawinkan dengan bank lain, atau kalau tidak diamputasi. Rancangan Undang-Undang Lembaga Penjaminan Simpanan perlu mengatur prosedur injeksi-amputasi di ruang operasi ini. Kemungkinan pembiayaan dari anggaran pemerintah harus diminimalkan, kalau bukan ditiadakan.<br />
<br />
Hanya dengan begitu kita boleh berharap BPPN menjadi lembaga pemerintah paling kontroversial pertama sekaligus terakhir yang pernah kita miliki.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141205641309644832004-02-13T17:31:00.000+08:002013-10-21T15:17:54.143+08:00Membuang selimut, menjamin penabung kecil<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/02/14/6808/Membuang-Selimut-Menjamin-Penabung-Kecil">Koran Tempo 13/02/2004</a>. Krisis pada 1998 menyadarkan kita: menabung di bank tak pernah bebas risiko. Salah pilih bank, jerih payah seumur hidup bisa lenyap ditelan bumi. Sayangnya, baru saja terjaga, kita dininabobokan pemerintah lagi dengan senandung blanket guarantee, jaminan menyeluruh kewajiban perbankan.<br />
<br />
"Jangan khawatir, uang Anda di bank aman," begitu kira-kira waktu itu pemerintah meyakinkan. "Dijamin seratus persen."<br />
<br />
Kepanikan mereda, uang pun perlahan kembali ke bank, dan kerusakan perbankan yang lebih parah bisa dicegah.<br />
<br />
Syukur alhamdulillah. Masalahnya, blanket guarantee membuat penabung betul-betul terlelap, tak pusing banknya bobrok, tak peduli bankir teledor menyalurkan kredit. Toh, kalaupun bank bangkrut, pemerintah pasti turun tangan, mengembalikan tabungan sampai ke sen terakhir.<br />
<br />
Jaminan segala ini juga memberi pesan buruk pada bankir. Ibaratnya, pemerintah mempersilakan bank lebih berani mengambil risiko. Tak perlu takut hukuman penabung yang menarik dananya, tak perlu khawatir pada disiplin pasar.<br />
<br />
Okelah, blanket guarantee hanya langkah darurat. Sekarang, pemerintah ingin membetulkan kesalahan itu. Blanket guarantee dihapuskan, diganti dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Rancangan undang-undangnya sedang dibahas DPR. Kalau tak ada aral melintang, LPS akan beroperasi akhir tahun ini.<br />
<br />
Ini langkah bijak yang perlu kita sambut gembira. Blanket guarantee jaminan simpanan terburuk yang paling buruk. Lebih cepat jaminan segala ini disingkirkan, lebih bagus.<br />
<br />
Namun, mampukah LPS mencegah krisis perbankan? Apakah bank akan bebas dari serbuan penabung karena sekadar desas-desus? Jawabannya sangat bergantung pada desain LPS itu sendiri. Salah-salah, LPS justru bisa jadi sumber masalah perbankan yang baru.<br />
<br />
Banyak ekonom dunia tak menyukai LPS. Secara teoretis, LPS mendorong penabung tak peduli pada kesehatan bank, bankir lebih berani mengambil risiko, dan pemerintah makin sering menyelamatkan bank yang bangkrut. Dalam prakteknya, di negara maju sekalipun, dan dengan LPS terbaik, krisis perbankan selalu datang dan pergi, kadang dengan biaya mahal yang membebani anggaran pemerintah.<br />
<br />
Di negara berkembang ceritanya lebih suram lagi. Studi empiris mengindikasikan, karena dirancang sembarangan, LPS justru sering memicu krisis perbankan. Apalagi, LPS di negara berkembang rentan penyelewengan karena institusi lemah, lingkungan bisnis penuh tipu muslihat, regulator tak becus, dan politikus yang selalu merecoki.<br />
<br />
Berbagai studi komparatif LPS antarnegara mengindikasikan LPS potensial mencegah krisis kalau cakupan jaminannya terbatas. Penabung kecil tak lagi sibuk mendengar desas-desus, dan penabung besar dipaksa ikut mengawasi kinerja bank. LPS juga lebih baik dengan keanggotaan wajib, premi berbasis risiko, reasuransi, dan partisipasi swasta dalam pengelolaannya.<br />
<br />
Dari sudut pandang ini, mari kita nilai desain LPS yang diusulkan. Pertama, LPS hanya menjamin tabungan dan deposito; pinjaman antarbank dikecualikan. Simpanan pun dibatasi maksimum Rp 100 juta.<br />
<br />
Seratus juta mungkin terlalu besar. Banyak negara lain batas maksimum simpanan yang dijamin lebih rendah secara nominal maupun rasionya terhadap pendapatan per kapita.<br />
<br />
Setidaknya RUU LPS sudah mengadopsi semangat melindungi penabung kecil. Dengan batas Rp 100 juta, LPS menjamin 9 dari 10 penabung yang mencakup seperempat total dana pihak ketiga di perbankan. Penabung besar diharapkan bisa mengurus diri sendiri. Begitu juga dengan perusahaan besar, dana pensiun dan asuransi.<br />
<br />
Pengecualian ini disengaja. Karena uangnya tak dijamin, penabung besar diharapkan lebih cermat mengawasi kinerja bank. Kalau bankir sembrono mengelola bank, mereka protes dengan angkat kaki ke bank lain. Setidaknya, untuk mengkompensasi tambahan risiko, mereka menuntut suku bunga lebih tinggi.<br />
<br />
Karena tiga perempat dana di perbankan milik penabung besar, dampak negatif LPS pada perilaku penabung mungkin kecil. Bersama pemilik subordinated debt, utang yang lebih rendah prioritasnya dibanding deposito, penabung besar akan mencegah bank terlalu berani bermain-main dengan investasi berisiko tinggi.<br />
<br />
Kedua, sumber dana LPS berasal dari modal awal Rp 3-5 triliun dan premi asuransi yang dibayar bank. Pemerintah juga tampaknya bersikukuh LPS harus bisa membiayai diri sendiri, tidak boleh sampai membebani anggaran.<br />
<br />
Kita tentu senang mendengarnya. Tapi, kalau kemudian krisis perbankan kembali menerjang, apakah pemerintah tega dan mampu berdiam diri? Modal sekian triliun tentu tak seberapa dibanding dana perbankan Rp 860 triliun yang ingin dilindunginya. Tambahan premi pun hanya beberapa triliun per tahun.<br />
<br />
Ketiga, bank akan dibebani premi per tahun 0,25 persen dari rata-rata bulanan simpanan. Rencananya, premi ini akan disesuaikan dengan risiko masing-masing bank. Makin sehat suatu bank, kewajiban preminya lebih rendah. Kalau bank berisiko tinggi, begitu juga preminya.<br />
<br />
Dibanding premi rata, premi berbasis risiko tentu lebih baik. Premi rata seperti menghukum bank yang investasi ekstra hati-hati dan mendorong bank berisiko tinggi makin berani bertaruh.<br />
<br />
Masalahnya, tak mudah mengukur tingkat risiko bank. Sekalipun bisa, beda beban preminya mungkin tak besar. RUU sendiri membatasi beda premi maksimum 0,5 persen, mungkin tak cukup banyak untuk mengkompensasi perbedaan risiko perbankan.<br />
<br />
Keempat, semua bank wajib jadi anggota LPS. Ini juga bagus untuk menghindari adverse selection. Bayangkan, apa jadinya kalau keanggotaannya sukarela. Bank sehat menolak masuk dan LPS hanya akan jadi perkumpulan bank sakit.<br />
<br />
Satu pertanyaan kemudian mengemuka. Menjadi monopoli dengan bank yang wajib membeli, bagaimana LPS menetapkan premi yang tepat, tidak mendistorsi pilihan risiko perbankan?<br />
<br />
Terakhir, ada baiknya jaminan LPS direasuransikan. Dengan begitu, LPS tak hanya punya patokan premi, risiko krisis perbankan tak lagi ditanggung sendiri. Kalau memungkinkan, sebagian jaminan ini bisa dijual ke asuransi swasta. Tentu sebelumnya perlu dipelajari apakah industri asuransi kita mampu mengelola risiko bank dan kemungkinan kolusi antara asuransi dan bank bisa dicegah.<br />
<br />
Singkatnya, banyak pertanyaan yang perlu dijawab, dan perincian pengelolaan yang perlu dirancang. LPS juga sekadar pemadam kebakaran. Kita berharap, dengan perbaikan di sana-sini, desain yang diusulkan tak akan membuat LPS membakari bank yang justru ingin dilindunginya.<br />
<br />
Tentu, di atas semua itu, yang paling penting adalah mencegah bank terlalu semangat bermain api, membangun kelengkapan pencegahan kebakaran, dan melengkapi peringatan dini tanda bahaya. Untuk itu, kita perlu regulasi dan supervisi perbankan ketat, serta resolusi krisis yang tegas.<br />
<br />
Kalau tidak, ketika krisis sistemik kembali menyerang, pemerintah mungkin terpaksa kembali menggunakan blanket guarantee, dan kita harus membangun sistem insentif pengawasan bersama perbankan oleh pemegang saham, penabung, pemilik surat utang, dan pemerintah dari nol kembali.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141205504837254022004-01-29T17:30:00.000+08:002013-10-21T15:18:21.849+08:00Penjaga gawang likuiditas perbankan<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/01/30/5692/Penjaga-Gawang-Likuiditas-Perbankan">Koran Tempo 29/01/2004</a>. "Nilai bank ketika hidup sering lebih tinggi dibanding setelah mati, sekalipun nilainya waktu hidup sudah minus," beberapa ekonom pernah mengatakannya. Ketika krisis menyerang perbankan, pendapat ini sulit dipungkiri. Apalagi kalau krisis perbankan begitu parah sehingga mungkin menyeret ekonomi masuk jurang.<br />
<br />
Untuk mencegah bank bangkrut, kita butuh penyedia dana terakhir (lender of last resort) yang menalangi bank yang kekurangan dana likuid untuk membayar kewajibannya. Melalui amendemen UU Bank Indonesia (BI) yang baru disahkan, fungsi ini diserahkan kembali ke BI. Saat ini BI dan pemerintah sedang menyusun mekanisme kerjanya sambil menunggu UU Jaring Pengaman Finansial.<br />
<br />
Tak salah kalau BI kembali jadi penyedia dana terakhir perbankan. Hanya saja sulit menyembunyikan rasa khawatir kekuasaan ini kembali diselewengkan. Orang belum lupa betapa runyamnya permainan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia waktu krisis perbankan beberapa tahun lalu dan betapa berat beban yang ditanggung anggaran pemerintah yang membiayainya.<br />
<br />
Khawatir wajib hukumnya, tapi, bagaimanapun, penyedia dana terakhir tetap diperlukan. Bank ditakdirkan cacat likuiditas seumur hidup: sebagian besar aset bank ditanamkan dalam investasi berjangka panjang, dibiayai dari simpanan masyarakat berjangka pendek. Kapan pun penabung meminta, bank wajib mengembalikannya.<br />
<br />
Siapa datang duluan, dia yang pertama dilayani. Akibatnya, bank rentan terhadap penggembosan. Tanpa uluran tangan pemerintah, tidak hanya bank busuk, bank yang segar bugar pun bisa diserang penabung dan tewas seketika. Sekadar desas-desus cukup memicu penabung berbondong-bondong ke bank, berebut antre paling depan.<br />
<br />
Di samping itu, pasar antarbank tak selalu bekerja mulus menyeimbangkan likuiditas bank. Di kala krisis, banyak bank bersikap sangat hati-hati. Sekalipun surplus aset likuid, bank enggan meminjamkannya ke bank yang kekurangan karena khawatir tak bisa meminjam pada waktu diperlukan besok lusa. Apalagi, tak selalu mudah membedakan bank yang sehat dan sakit. Bank cari amannya saja, tidak meminjamkan dananya pada siapa pun. Kalau banyak bank yang berpikir serupa, kekhawatiran yang sebenarnya hanya ada di kepala bankir ini bisa jadi nyata (self-fulfilling prophecy).<br />
<br />
Ketika bank sehat dan busuk sama-sama diserbu penabung secara luas (sistemik) atau pasar antarbank meramalkan kematiannya sendiri, bank akan berjatuhan satu demi satu seperti rumah kartu. Karena bank juga urat nadi sistem pembayaran, ekonomi seperti terkena serangan jantung dan jatuh tak berdaya tanpa diduga.<br />
<br />
Di sinilah penyedia dana terakhir dibutuhkan. Untuk mengurangi penyelewengan, pemerintah dan BI memperketat mekanisme pencairannya: hanya bank sehat tapi sedang tak likuid yang dibantu, bank sakit dibubarkan. Setiap meminjam, bank harus menyerahkan kolateral likuid yang senilai. Keputusan akhir dibuat setelah aksi penyelamatan alternatif gagal, oleh BI dan pemerintah. Kriteria krisis sistemik juga tak dijelaskan untuk menghindari moral hazard (aji mumpung).<br />
<br />
Bank sehat yang kesulitan likuiditas akan segera dibantu: bank menyerahkan kolateral surat berharga dan likuiditas pun disuntikkan. Penabung lega karena bank yang diserbu ternyata sehat, ketakseimbangan likuiditas pun teratasi, ramalan kiamat di pasar antarbank pun dibuyarkan. Keambrukan perbankan bisa dihindari dan ekonomi tak tergores sedikit pun.<br />
<br />
Itu skenario indah di atas kertas. Di lapangan lain lagi ceritanya. Maunya, bantuan diberikan hanya pada bank sehat, bank busuk sudah sepantasnya dibubarkan. Tapi, bagi BI sekalipun, tak mudah menilai kesehatan bank. Apalagi intervensi kadang harus dilakukan dalam hitungan hari atau bahkan dari jam ke jam. Lagi pula, bank yang sehat sebelum dibantu bisa jatuh sakit kemudian, misalnya karena ekonomi terus memburuk.<br />
<br />
Bukan itu saja, pemerintah sering sulit menolak godaan untuk menyelamatkan bank busuk. Akibatnya, bantuan likuiditas sering dianggap otomatis dan pasti. Coba bayangkan: kalau bank besar yang sakit minta bantuan, pemerintah seperti makan buah simalakama. Seharusnya bank sakit itu dibubarkan. Tapi kalau tak dibantu, tak hanya bank itu yang tewas, keseluruhan industri perbankan bisa terjangkiti dan jatuh sakit bersamanya.<br />
<br />
Bank yang minta bantuan memang wajib menyerahkan kolateral surat berharga. Tapi kolateral bank mungkin tak senilai bukunya lagi. Kalau tidak, bank itu tentu bisa menjualnya di pasar. Akibatnya, pemberian bantuan likuiditas ini tak sepenuhnya bebas risiko. Belum lagi kalau bank tak punya kolateral likuid yang bisa dijaminkan ke BI.<br />
<br />
Karena dalam prakteknya BI lebih sering turun tangan membantu bank yang kesulitan likuiditas, terlepas dari sehat atau sedang sakit, sebagian besar bank seperti dijamin oleh pemerintah. Apa pun yang dijamin atau diasuransikan akan menimbulkan masalah moral hazard. Pada kasus perbankan, ini terutama menimpa bank besar yang terlalu besar untuk dibiarkan gagal.<br />
<br />
Yakin banknya akan diselamatkan, bank sakit lebih berani bertaruh pada investasi berisiko tinggi: kalau berhasil bank terselamatkan, tapi kalau gagal toh BI akan turun tangan. Di sisi lain, kalau ini terus berlangsung, penabung tak lagi takut menyimpan di bank sakit dan bank sakit pun berlenggang kangkung tak terhukum sebelum semuanya sudah terlambat.<br />
<br />
Untuk mengurangi moral hazard, pemerintah katanya tidak akan mengumumkan kriteria bank seperti apa yang dibantu. Moral hazard mungkin berkurang, tapi ongkosnya kita menyerahkan kekuasaan yang begitu besar pada pemerintah dan BI mengawasi dan memutuskan bagaimana krisis perbankan diselesaikan. Lalu, siapa yang kemudian mengawasi pengawas itu sendiri?<br />
<br />
Singkatnya, apa pun kesepakatan pemerintah dan BI, dan bagaimana pun nanti penyedia dana terakhir perbankan diatur UU Jaring Pengaman Finansial, sistem itu tak akan pernah sempurna. Yang bisa kita lakukan adalah merancang sistem yang paling tahan banting dan memasang rambu-rambu pelaksanaannya untuk mengurangi kemungkinan penyelewengan.<br />
<br />
Untuk itu, segera setelah krisis selesai, setiap kasus harus dibuka, ditelanjangi di depan publik. Kalau ada pejabat yang salah, dihukum secara administratif atau, kalau ada pelanggaran hukum, secara pidana.<br />
<br />
Begitu juga bankir dan pemegang saham yang mempermainkan bantuan likuiditas. Harapannya, kalau bankir khawatir kehilangan pekerjaannya atau pemegang saham kehilangan modalnya, mereka akan lebih hati-hati mengelola bank.<br />
<br />
Karena mencegah lebih baik dari mengobati, penegakan regulasi dan pengawasan bank mutlak ditegakkan. Bank perlu selalu didorong untuk tak hanya menjaga kekuatan modalnya, tapi juga keseimbangan likuiditasnya. Untuk berjaga-jaga menghadapi krisis, bank juga perlu memiliki cukup aset likuid yang bisa dijaminkan pada BI kalau perlu bantuan likuiditas.<br />
<br />
Seperti kata ekonom Charles Kindleberger, "Penyedia dana terakhir perbankan perlu, tapi keberadaannya harus antara ada dan tiada." Kalau diperlukan, dia harus segera turun tangan. Tapi bankir harus selalu ragu kapan bantuan itu datang atau jangan-jangan tidak sama sekali. Dengan begitu bank sehat yang tak likuid bisa terselamatkan dan bank sakit tak menyalahgunakannya. Tak ada rumus pasti. Justru lebih ke seni serta integritas pejabat pemerintah dan BI.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141205396286061792004-01-15T17:28:00.000+08:002013-10-21T15:18:54.258+08:00Memperkokoh pilar perbankan<a href="http://koran.tempo.co/konten/2004/01/16/4660/Memperkokoh-Pilar-Perbankan">Koran Tempo 15/01/2004</a>. Megah, gemerlap, dan ditopang pilar-pilar setebal beringin. Itulah potret tipikal kantor bank di negeri ini. Yang sebenarnya, bank rapuh seperti rumah kartu remi, salah sedikit bisa tumbang berantakan tanpa terduga.<br />
<br />
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan pekan lalu adalah jurus terbaru Bank Indonesia (BI) memperkokohnya. Sekilas, API memberi harapan, dengan sejumlah catatan.<br />
<br />
Setelah pengalaman buruk krisis perbankan 1998, harapanlah yang kita butuhkan. Dan, harapan jugalah yang kita dapatkan. Semua kata indah yang bisa Anda bayangkan tentang perbankan termuat dalam kebijakan itu: perbankan yang sehat, kuat, berdaya saing, efisien.<br />
<br />
Tak hanya itu, BI juga mengusulkan program konkret dan tegas untuk mencapainya. Targetnya, dalam 10-15 tahun, akan lahir beberapa bank berdaya saing internasional, beberapa bank beroperasi nasional, serta sejumlah bank khusus dan daerah.<br />
<br />
Tapi, semua ini dengan catatan. Bermimpi punya perbankan yang kuat adalah satu hal, namun merancang aturan terperinci dan melaksanakannya secara konsisten sama sekali bukan pekerjaan gampang. Justru aturan terperinci dan konsistensi itulah inti pekerjaan yang sebenarnya.<br />
<br />
Mari kita lihat beberapa program API yang paling penting. Pertama, untuk memperkuat struktur perbankan, bank diwajibkan memiliki modal paling sedikit Rp 100 miliar pada 10-15 tahun dari sekarang. Kalau tidak, bank diturunkan ke kelas BPR. Untuk jadi Bank Internasional perlu modal Rp 50 triliun. Bank Nasional butuh paling sedikit Rp 10 triliun.<br />
<br />
Aturan ini terapi kejut bagi perbankan nasional. Sebagian besar bank saat ini adalah bank liliput dengan modal seadanya, ratusan atau bahkan hanya puluhan miliar. Kendati kecil, bank-bank ini banyak yang beroperasi secara nasional dan menawarkan produk yang hampir sama dengan bank besar seperti Mandiri atau BNI. Kalau ingin tetap beroperasi secara nasional, mereka harus menambah modal setidaknya jadi Rp 10 triliun. Bank besar seperti Mandiri dan BNI pun perlu kerja keras menambah modal puluhan triliun hingga setidaknya jadi Rp 50 triliun kalau ingin beroperasi sebagai Bank Internasional.<br />
<br />
Kalau BI konsisten menjalankan API, bank-bank liliput ini mau tak mau harus menambah modal, dari dana segar pemilik lama maupun dengan menerbitkan saham baru di bursa. Kalau tidak, mereka perlu merger satu sama lain, atau setidaknya menerbitkan subordinated debt.<br />
<br />
Bayangkan ini benar terjadi, sebagian harapan kita akan jadi kenyataan. Makin banyak modal suatu bank, makin besar kemampuannya untuk menyerap kerugian sehingga terhindar dari insolvency dan kebangkrutan. Makin besar modal yang disetorkan pemegang saham, makin peduli mereka mengawasi tingkah laku manajer bank.<br />
<br />
Dengan modal puluhan triliun rupiah, beberapa Bank Internasional kita pun akan bisa bicara di tingkat regional, bersaing dengan DBS Bank-nya Singapura atau Bangkok Bank-nya Thailand. Di samping itu, BI juga akan lebih efektif mengawasi beberapa puluh bank dibanding harus memelototi seratus lebih bank kecil seperti sekarang.<br />
<br />
Akan tetapi, seperti kata pepatah Inggris, the devil's in the detail. Pembagian kelas perbankan tentu tidak sekadar pembatasan wilayah operasi, tapi juga penentuan produk dan kegiatan yang sesuai dengan kemampuan bank menyerap risiko. Tak hanya itu, pembagian ini juga harus mencegah tumpang tindih kegiatan antarkelas yang berujung pada kompetisi tak sehat.<br />
<br />
Masalahnya, tidak mudah memilah produk dan kegiatan keuangan apa yang boleh ditawarkan masing-masing kelas. Misalnya, apakah transaksi valuta boleh dilakukan bank nasional? Apakah hanya bank internasional yang boleh melakukan underwriting? Apa saja produk yang boleh ditawarkan bank khusus?<br />
<br />
Kedua, BI berkomitmen untuk menjalankan Basel Accord, prinsip kehati-hatian perbankan yang dirancang oleh The Basel Committee on Banking Supervision dan diadopsi banyak negara. Pertanyaannya adalah apakah BI akan meminjam Basel Accord mentah-mentah, ataukah Basel dijalankan setelah disesuaikan dengan lingkungan ekonomi di Indonesia?<br />
<br />
Semangat Basel Accord terbaru adalah memperluas peran informasi berbasis pasar dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Tentu tak ada yang salah dengan ini. Perhitungan CAR yang digunakan selama ini mungkin terlalu kasar sehingga bobot risiko beberapa kategori aset tidak akurat. Apalagi Basel Accord yang diberlakukan saat ini hanya mencakup risiko kredit (dari kemacetan) dan risiko pasar (surat berharga yang dimiliki bank), belum mencakup risiko operasi (mulai dari jaringan ATM mati sampai pembobolan bank).<br />
<br />
Masalahnya adalah bagaimana mengumpankan informasi berbasis pasar ini ke dalam sistem pengawasan perbankan masih kontroversial. Basel mengusulkan penggunaan penilaian lembaga pemeringkat seperti Moody's atau Standard & Poor's. Untuk pembobotan risiko operasi, Basel juga menggunakan peringkat internal bank itu sendiri.<br />
<br />
Sebagian besar bank di Indonesia berada di luar radar lembaga pemeringkat dunia, sedangkan kita belum punya lembaga pemeringkat yang andal. Apakah kita juga mau percaya pada penilaian risiko operasi oleh bank itu sendiri? Bagaimana mengawasi penyalahgunaannya?<br />
<br />
Apalagi, secara umum, Basel Accord dirancang terutama untuk perbankan di negara maju dengan lingkungan bisnis lebih baik dan sistem hukum yang kuat. Lingkungan ekonomi Indonesia yang penuh korupsi dan tipu muslihat bisnis sangat berbeda dengan misalnya ekonomi Eropa atau Amerika Serikat. Kualitas pengawasan perbankan dan corporate governance kita juga payah. Sulit membayangkan Basel merupakan pengaturan dan pengawasan perbankan yang optimal bagi Indonesia.<br />
<br />
BI tentu boleh meminjam semangat Basel, tapi Basel perlu dimodifikasi sehingga lebih sesuai dengan kondisi dan tuntutan perbankan kita saat ini.<br />
<br />
Ketiga, BI mungkin perlu lebih serius mendorong perbankan menerbitkan subordinated debt, utang yang peringkatnya lebih rendah dibanding deposito sehingga mungkin tidak dibayar kembali seluruhnya kalau bank gagal. Ini tidak hanya untuk menambah modal perbankan, tapi juga untuk memperluas peran informasi berbasis pasar.<br />
<br />
Manfaat subordinated debt ini sedang hangat dibicarakan. Karena pemilik subordinated debt mengalami kerugian kalau bank gagal, mereka akan terdorong untuk mengawasi bank lebih cermat. Setidaknya, karena nilainya tergantung pada pasar, premium subordinated debt ini bisa menjadi alat ukur tambahan bagi BI dan masyarakat untuk menilai kesehatan bank.<br />
<br />
Keempat, BI akan melengkapi infrastruktur perbankan dengan biro kredit, lembaga pemeringkat kredit, dan penjaminan kredit. Ketiganya tentu sangat penting bagi industri perbankan. Lembaga pemeringkat kredit akan membantu pelaksanaan Basel Accord; penjaminan kredit memperlancar penyaluran kredit pada usaha kecil dan menengah; biro kredit akan mempermudah bank menilai kualitas kredit.<br />
<br />
Tapi, sekali lagi, kita masih menunggu bagaimana perincian rancangan dan pelaksanaannya. Di samping itu, ada dua institusi yang tampaknya terlupakan: Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). LPS mau tidak mau akan menjadi tiang utama perlindungan tabungan masyarakat. Pendirian dan operasi OJK serta hubungannya dengan BI juga menjadi kunci pengawasan perbankan di masa depan.<br />
<br />
Terakhir, API hanya menyinggung secara sekilas peran pemerintah. Padahal, sebagai pemilik terbesar perbankan, pemerintah akan menjadi pemain utama dan penentu keberhasilan pelaksanaan API. Di samping itu, pada akhirnya kepemilikan pemerintah di perbankan nasional perlu dikurangi, dan ini mungkin bisa dimasukkan ke dalam rencana besar arsitektur perbankan.<br />
<br />
Ini hanya beberapa isu penting API. Jelas tergambar harapan yang ditawarkannya untuk mengubah rumah kartu remi perbankan yang rapuh menjadi sekokoh pilar beton yang menghiasi gedung kantor bank-bank kita. Hanya saja, komitmen dan pekerjaan berat menunggu BI dan pemerintah. Kalau tidak, inisiatif berani ini hanya akan jadi macan kertas, dan harapan besar kita pada API menguap di tengah jalan.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141205183596803932003-12-29T17:24:00.000+08:002013-10-21T15:19:25.577+08:00Ekonomi 2004: Bersiap tancap gas?<a href="http://koran.tempo.co/konten/2003/12/31/3537/Ekonomi-2004-Bersiap-Tancap-Gas">Koran Tempo 29/12/2003</a>. Mesin ekonomi naik ke persneling dua, diperkirakan tumbuh 4-5 persen. Itu konsensus prediksi ekonomi 2004. Tapi, akankah perkiraan menjadi kenyataan? Dan, bolehkah kita berharap ekonomi tumbuh lebih tinggi?<br />
<br />
Jawaban mudahnya: harus. Ekonomi sudah terlalu lama tertatih, tumbuh hanya 3-4 persen per tahun. Kalau kita tak mau pengangguran terus menumpuk, ekonomi perlu segera tumbuh tinggi 6-7 persen seperti sebelum resesi.<br />
<br />
Jawaban realistisnya: sulit. Karena pemerintah membelenggu tangannya sendiri untuk menurunkan defisit anggaran, kebijakan fiskal cenderung kontraktif, tak berdaya stimulus. Akibatnya, nasib ekonomi bergantung sepenuhnya pada garis tangannya sendiri. Kalau beruntung, ekonomi berputar cepat. Sebaliknya, kalau buntung, ekonomi tumbuh sekadarnya.<br />
<br />
Tapi sulit bukan berarti tak mungkin. Lagi pula, banyak alasan untuk berharap pada 2004.<br />
<br />
Lihat potret makroekonomi Indonesia yang makin berkilau. Kurs cenderung menguat, inflasi turun drastis, suku bunga perlahan mengikuti. Defisit anggaran terus ditekan, begitu juga dengan rasio utang luar negeri terhadap ekonomi. Peringkat utang luar negeri pemerintah pun naik kelas. Bursa saham tak ketinggalan, indeks berpacu ke tingkat tertingginya dalam empat tahun terakhir.<br />
<br />
Kritikus paling tajam sekalipun, mau tak mau, angkat topi.<br />
<br />
Potret memukau tentu tak cukup. Rupiah boleh menguat, inflasi boleh turun. Tapi apa artinya kalau pertumbuhan tetap rendah, kalau kemiskinan dan pengangguran terus bertambah?<br />
<br />
Kuncinya adalah kurs stabil dan inflasi rendah. Bukan karena keduanya syarat utama pertumbuhan, tapi karena respons Bank Indonesia sangat bergantung padanya.<br />
<br />
Selama ini kebijakan moneter praktis digunakan hanya untuk menjaga rupiah dan menurunkan inflasi. Sekarang, ketika inflasi masuk kandang, kita mungkin boleh berharap BI lebih bebas memainkan kebijakan moneter untuk juga mengakomodasi potensi ekspansi ekonomi.<br />
<br />
Suku bunga kredit juga sudah turun perlahan. Setelah menyusut dua tahun terakhir, pasok uang tumbuh lagi, secara riil 6-8 persen per tahun sejak Mei lalu. Ekspansi uang sebesar ini lebih dari cukup untuk mengakomodasi pertumbuhan 4-5 persen tahun depan, atau bahkan lebih.<br />
<br />
Kondisi moneter kondusif. Bagaimana dengan potensi pertumbuhan ekonomi?<br />
<br />
Dulu, banyak yang khawatir ekspansi ekonomi akan kehabisan bensin di tengah jalan. Maklum, katanya, pertumbuhan beberapa tahun terakhir yang dipacu konsumsi tak akan berkelanjutan. Apalagi, katanya juga, konsumsi mulai melambat.<br />
<br />
Ternyata, konsumen terus belanja dan belanja. Seperti pengalaman pascaresesi di negara lain, konsumsi terus memimpin pemulihan ekonomi. Memang pernah agak melambat, tapi kuartal ketiga 2003 konsumsi swasta kembali tumbuh tegar, hampir 5 persen secara tahunan.<br />
<br />
Sekarang, keraguan pada konsumsi cenderung dikesampingkan, setidaknya untuk tahun depan. Semua ekonom tampaknya setuju konsumsi terus melaju. Berkat pesta kampanye dan pemilu.<br />
<br />
Pemilu, dengan rapat koordinasi, kampanye, dan pengerahan massa partai politiknya, seakan jadi stimulus ekonomi pada 2004. Tradisi bagi-bagi uang untuk "membeli suara" kotor secara politik, tapi dampaknya pada pertumbuhan ekonomi positif karena meningkatkan konsumsi dan memutar roda ekonomi lebih cepat.<br />
<br />
Jadi, konsumsi yang merupakan 70 persen ekonomi sekali lagi akan menjadi motor pertumbuhan. Sepanjang pemilu tak gaduh, ekspansi konsumsi tahun depan tak mungkin tersendat. Apalagi sentimen konsumen pada prospek ekonomi seperti diindikasikan berbagai survei juga makin positif.<br />
<br />
Bagaimana dengan investasi?<br />
<br />
Sayangnya, investasi bisnis diperkirakan tak akan melonjak tajam. Kita boleh yakin pemilu berlangsung lancar, tapi risikonya tetap ada. Pemodal mungkin ingin melihat bagaimana transisi politik berlangsung, dan menunggu sampai paruh kedua 2004 sebelum memutuskan akan menanamkan modalnya atau tidak.<br />
<br />
Sebaliknya, meneruskan ekspansinya tahun ini, investasi properti tetap marak. Karena 70 persen investasi di Indonesia adalah investasi rumah tinggal dan bangunan, investasi secara keseluruhan tetap jadi penyumbang pertumbuhan ekonomi pada 2004.<br />
<br />
Tentu ekonomi sangat membutuhkan investasi bisnis, untuk memperbesar kapasitas produksi dan menambah daya serap tenaga kerja. Hanya saja, karena investasi bisnis hanya sekitar 15-20 persen dari investasi, atau sekitar 5 persen dari ekonomi, investasi bisnis dan penanaman modal asing bukan segala-galanya, bukan penentu hidup-mati ekonomi Indonesia.<br />
<br />
Singkatnya, walaupun investasi bisnis jalan di tempat, ekonomi 2004 bisa tumbuh 4-5 persen kalau kebijakan moneter mengakomodasi ekspansi konsumsi dan investasi properti. Bahkan bisa tumbuh lebih tinggi kalau ekonomi dunia juga tumbuh tinggi kembali.<br />
<br />
Yang terakhir, prospek ekonomi dunia pada 2004 perlu digarisbawahi.<br />
<br />
Pemulihan ekonomi Indonesia gagal menangkap gelombang pasang ekonomi dunia pada saat yang tepat. Ekonomi dunia yang tumbuh tinggi sejak 1999 melambat pada 2001 ketika ekonomi Indonesia baru bangkit dari resesi. Akibatnya, ekonomi Indonesia yang sempat tumbuh hampir 5 persen pada 2000 kemudian melambat ke 3-4 persen per tahun karena hanya mengandalkan konsumsi.<br />
<br />
Sekarang, cuaca ekonomi dunia cerah kembali, dan ekonomi Indonesia sudah siap menaiki gelombang pasangnya. Pada kuartal ketiga tahun ini ekonomi dunia secara mengejutkan tumbuh 5 persen lebih. Pada 2004, ekonomi dunia diperkirakan tetap tumbuh tinggi karena keempat motor ekonomi dunia--Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Eropa--tumbuh secara bersama-sama.<br />
<br />
Sejalan dengan ekspansi ekonomi dunia, kinerja ekspor Indonesia diharapkan menjadi motor pertumbuhan tambahan di samping konsumsi. Peningkatan ekspor juga akan mengurangi tekanan pada transaksi berjalan akibat ekspansi impor dan pembengkakan defisit neraca modal.<br />
<br />
Tak lama lagi, matahari baru akan menyingsing. Dengan penuh harap, mari nikmati perjalanan ekonomi 2004.<br />
<br />
Kalau perlu prediksi pertumbuhan, angka 4-5 persen cukup realistis. Tapi, selalu buka mata lebar-lebar. Barangkali saja kita beruntung: pertarungan partai politik bersih, rupiah stabil, dan ekonomi dunia tumbuh tinggi. Siapa tahu ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen lebih pada 2004, dan dalam waktu singkat tancap gas tumbuh tinggi 6-7 persen kembali seperti sebelum resesi.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141205086164831262003-12-11T17:23:00.000+08:002013-10-21T15:19:54.579+08:00Belajar dari skandal perbankan<a href="http://koran.tempo.co/konten/2003/12/12/2300/Belajar-dari-Skandal-Perbankan">Koran Tempo 11/12/2003</a>. Sebagai penabung, direksi, komisaris, atau pengawas bank, apa yang bisa kita pelajari dari huru-hara BNI dan BRI?<br />
<br />
Pelajaran yang mungkin paling nyata adalah bisnis kotor perbankan ternyata sangat menguntungkan. Rp 1,7 triliun sungguh melimpah-ruah. Siapa yang tak tergetar memegang uang sebanyak ini, sekalipun hanya dalam mimpi?<br />
<br />
Sudah untung besar, risiko buntung kecil. Kalau tertangkap, hotel prodeo ganjarannya. Tapi kalau sempat kabur ke alam maya, sampai akhir hayat dijamin hidup mewah.<br />
<br />
Kalaupun sial, perangkat hukum tak mudah menjerat. Dibantu pengacara kenamaan, perampok bank bisa berkelit bagai belut, bebas dari segala tuntutan. Mereka bisa lenggang kangkung, berjas, berdasi, segera berbisnis kembali bak pengusaha mumpuni, termasuk merampok bank lagi.<br />
<br />
Apalagi tak perlu otak sejenius Einstein untuk membobol bank. Pada kasus BNI, mereka pura-pura jadi eksportir, menjual L/C dari bank antah-berantah ke bank lokal, dan melengkapinya dengan dokumen pengapalan palsu. Kasus BRI lebih telanjang lagi: deposito orang lain secara ilegal dijadikan agunan kredit. Mereka memperoleh uang miliaran rupiah dalam sekejap. Apa tak sedap?<br />
<br />
Mereka tentu perlu menghipnotis pejabat bank untuk melanggar rambu-rambu operasi perbankan. Atau kalau tak mampu menyihir, mengajaknya bekerja sama.<br />
<br />
Itu sebabnya, kalau tidak dibereskan secara klinis, skandal ini mungkin akan menginspirasi calon perampok baru. Mereka bisa meminjam teknik lama, atau merancang skema penipuan yang lebih licin, mempertaruhkan hidup mewah seumur hidup dengan kurungan penjara. Taruhan yang mungkin terlalu menggiurkan buat sebagian orang.<br />
<br />
Sebagai pengawas bank, Bank Indonesia (BI) mengaku bertanggung jawab secara moral. Syukurlah mereka sadari itu. Tapi, karena musibah ini sama sekali bukan barang baru, BI juga perlu meninjau ulang keefektifan regulasi dan pengawasan perbankan yang dijalankan saat ini.<br />
<br />
Entah sudah berapa kali perbankan dibobol. Teknik penipuannya mirip. Sebagian bahkan melibatkan orang yang sama.<br />
<br />
Senang mendengar BI akan menguji kepatutan dan kelayakan kepala cabang, tidak hanya direksi, komisaris, dan pemegang saham. Semoga saja prosesnya tidak memperlambat rencana ekspansi perbankan, dan tenaga BI tidak tersedot pekerjaan baru ini. Mulai tahun depan BI juga akan mewajibkan bank besar mempekerjakan direksi khusus manajemen risiko.<br />
<br />
Sebagian direksi mungkin ketar-ketir. Tapi tak perlu terlalu khawatir. Sekalipun bank terancam rugi ratusan miliar, posisi direksi cukup aman sepanjang mereka tidak terlibat secara langsung. Cukup cuci tangan dan salahkan bawahan. Di negeri ini, mengundurkan diri sebagai wujud pertanggungjawaban moral belum membudaya.<br />
<br />
Yang sulit berkelit adalah direktur kepatuhan. Bank begitu mudah dibobol, dan ini menunjukkan pekerjaan mereka, pengawasan internal bank, tidak berjalan mulus.<br />
<br />
Pak Komisaris? Tak tersentuh. Mereka hanya perlu menilai kinerja direksi. Operasi perbankan dari hari ke hari di luar jangkauan mereka. Kalau direksi saja tak perlu mundur, apalagi komisaris, bukan?<br />
<br />
Sebagai penabung, kita telah banyak belajar. Tak ada kepanikan, tak ada kerusuhan. Kalaupun Anda punya tabungan di BNI atau BRI, besar kemungkinan Anda tenang-tenang saja, tak perlu memindahkan tabungan ke bank lain. Toh, pemerintah menjamin semuanya. Apalagi risiko di bank lain juga bukan berarti lebih rendah.<br />
<br />
Ini menyejukkan hati. Artinya, program penjaminan pemerintah bekerja sempurna. Tapi, di sisi lain, ini juga mengkhawatirkan. Kita penabung merasa tak perlu menghukum bank yang sembrono mengelola uang kita sekalipun itu hasil jerih payah menabung seumur hidup. Akibatnya, bankir juga tidak terlalu khawatir skandal memicu kepanikan. Mereka lebih berani menyalurkan kredit lebih berisiko dengan suku bunga tinggi untuk memperoleh keuntungan lebih besar.<br />
<br />
Kita baru bicara penipuan perbankan yang paling primitif, belum kejahatan yang memanfaatkan masalah yang secara inheren melekat erat pada industri perbankan.<br />
<br />
Bank perlu sangat teliti menilai kelayakan peminjam. Salah-salah, kredit bisa macet dan bank merugi. Lebih runyam lagi, bank menghadapi masalah adverse selection: peminjam yang paling bersemangat menawarkan keuntungan tinggi biasanya paling berisiko.<br />
<br />
Belum masalah moral hazard: sekali peminjam mendapat kredit, selalu ada godaan untuk menyalahgunakannya: dengan bermain pada proyek berisiko lebih tinggi, atau dengan berfoya-foya untuk keuntungan pribadi.<br />
<br />
Makin besar kemungkinan merugi, makin berani peminjam bermain risiko. Dengan mengambil risiko yang lebih besar, kerugian peminjam tak lebih banyak. Sebaliknya, kalau berhasil peminjam bisa mengembalikan utang sekaligus mengantongi untung.<br />
<br />
Tentu bukan berarti kita bisa menghapuskan semua penipuan perbankan. Risikonya tak bisa dihilangkan, hanya dikurangi. Sistem boleh kita rancang dan jalankan sebaik mungkin, tapi selalu saja ada bankir jahat yang mencuri-curi kesempatan.<br />
<br />
Di negara maju dengan institusi keuangan yang lebih mapan sekalipun bank dan perusahaan tidak luput dari kejahatan keuangan. Pemilik Central Nasional Bank of New York pada 1987, misalnya, dituduh menggelapkan dana sekitar US$ 32 juta. Skandal bisnis Enron dan Worldcom rasanya belum pupus dari ingatan. Sekarang Amerika sibuk mengurus penyelewengan dana masyarakat oleh pengelola reksadana.<br />
<br />
Bagi pemerintah dan BI, tantangannya adalah bagaimana memperkecil kemungkinan pembobolan perbankan?<br />
<br />
Bankir harus mengelola dana masyarakat secara bertanggung jawab dan mengawasi operasi internal secara ketat. Untuk itu, setiap kelalaian dan kejahatan harus mereka bayar mahal. Komisaris bank pemerintah perlu lebih serius mengawasi direksi, bukan sekadar merangkap jabatan seperti selama ini. Kalau bank gagal, mereka tak bisa cuci tangan begitu saja. Direksi dan komisaris yang gagal harus mundur atau, kalau tidak, diberhentikan. Sistem penjaminan juga perlu diperbarui supaya penabung dipaksa ikut memilih bank terbaik dengan uangnya.<br />
<br />
Para pembobol bank pasti sedang membuka mata lebar-lebar, melihat bagaimana kita membiarkan drama BNI dan BRI bergulir.<br />
<br />
Sekarang, pertanyaannya adalah kita mau belajar atau tidak?*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141204996840836642003-11-13T17:21:00.000+08:002013-10-21T15:20:23.446+08:00Anggaran konservatif habis<a href="http://koran.tempo.co/konten/2003/11/14/758/Anggaran-Konservatif-Habis">Koran Tempo 13/11/2003</a>. Tambah sekian triliun di pos itu, kurang sekian di sini, dan dua bulan pembahasan, akhirnya APBN 2004 siap tersaji, disahkan DPR pada Senin lalu.<br />
<br />
Kecuali target pertumbuhan ekonomi yang naik dari 4,5 ke 4,8 persen, APBN 2004 tak banyak beda dengan anggaran usulan pemerintah. Defisit anggaran Rp 24 triliun, 1,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk menutupi defisit dan beban utang, pemerintah menerbitkan obligasi Rp 32,5 triliun. Gaji pegawai negeri tak akan dinaikkan, tapi ada gaji ke-13. Subsidi bahan bakar minyak dan listrik tidak diutak-atik.<br />
<br />
Bagaimana dengan stimulus ekonomi? Bermimpi pun jangan.<br />
<br />
Ini kabar gembira sekaligus menyedihkan. Menggembirakan karena pemerintah berusaha keras menjaga keberlanjutan fiskal, konsisten menurunkan defisit anggaran dan beban utang luar negeri. Defisit anggaran terus ditekan dari 2 persen tahun lalu dan 1,8 tahun ini menjadi 1,2 persen pada 2004. Rasio utang luar negeri terhadap PDB ditargetkan sekitar 60 persen, turun dari 100 persen lebih dua tahun lalu.<br />
<br />
Jelas sikap fiskal yang sangat hati-hati menyenangkan pemodal asing. Defisit yang lebih rendah mengindikasikan risiko gagal bayar utang yang lebih kecil. Peringkat utang pemerintah akan terdongkrak dan kurs rupiah lebih aman dari guncangan. Dana Moneter Internasional dan negara kreditor Indonesia pasti memuji.<br />
<br />
Sekalipun mungkin terpaksa, keputusan pemerintah yang tidak ngotot menekan defisit lebih rendah lagi hingga 1 persen dari PDB juga patut diacungi jempol. Pemerintah tidak memaksakan diri memotong subsidi BBM dan listrik dan pada saat yang sama masih memberi pegawai negeri gaji ke-13. Maklum, 2004 tahun pemilu, masuk akal kalau pemerintah tidak memancing masalah di air yang bisa keruh sewaktu-waktu.<br />
<br />
Sayangnya, karena alasan yang sama APBN 2004 juga menyedihkan.<br />
<br />
Tak ada yang gratis di dunia ini. Kalau pemerintah terlalu hati-hati mengelola fiskal, terlalu cepat, dan drastis menurunkan defisit, kita harus membayarnya dengan anggaran yang superketat. Artinya hanya satu: jangan berharap anggaran mendorong pertumbuhan.<br />
<br />
Masalahnya, ekonomi Indonesia saat ini tumbuh rendah dan sangat membutuhkan stimulus fiskal. Kalau tidak, nasib ekonomi sangat bergantung pada kinerja ekonomi dunia. Kalau ekonomi dunia sehat, ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5 persen atau lebih; tapi kalau ekonomi dunia sakit-sakitan seperti beberapa tahun terakhir, ekonomi Indonesia juga tak bisa bergerak cepat.<br />
<br />
Bukan berarti pemerintah boleh memanipulasi kebijakan fiskal dan moneter secara sembarangan seperti pada 1960-an dulu. Cara seperti itu sangat berbahaya dan sama sekali tidak berguna. Bukan untung yang diperoleh, justru buntung dua kali: ekonomi yang ingin distimulasi tidak banyak terpengaruh dan inflasi meningkat tajam.<br />
<br />
Sekalipun ekonomi berjalan pelan, pemerintah juga tidak boleh pesta belanja dengan fiskal yang ekspansif sesuka hatinya. Apalagi saat ini kita jelas tidak akan mampu membayarnya. Utang yang menumpuk, aset siap jual yang menipis, dan beban subsidi yang besar sangat membatasi ruang gerak kebijakan fiskal.<br />
<br />
Yang kita harapkan sebenarnya tidak banyak: pemerintah sebaiknya tidak ngotot menekan defisit terlalu cepat dan drastis. Kesetimbangan fiskal tidak perlu harus tercapai pada 2006, tidak ada salahnya terlambat beberapa tahun lebih lama. Dengan demikian, pemerintah bisa lebih bebas mendorong pertumbuhan ekonomi, atau setidaknya tidak terlalu membatasi daya ekspansi alaminya.<br />
<br />
Intinya, sikap hati-hati pemerintah patut dipuji, tapi kalau kemudian terlalu hati-hati dampaknya buruk juga.<br />
<br />
Apalagi stimulus kebijakan fiskal bukan dosa besar yang harus dihindari. Bertentangan dengan resep IMF pada negara-negara yang dihantam krisis untuk memperketat fiskal, banyak negara maju yang tidak segan-segan menggunakan stimulus fiskal ketika ekonominya melambat. Saat ini, sebagian besar negara maju anggarannya defisit. Tahun ini defisit negara-negara OECD diperkirakan sekitar 3,6 persen dari PDB. Rasio utang mereka terhadap PDB diperkirakan mencapai 80 persen dari PDB.<br />
<br />
Amerika Serikat, misalnya, pada 2001 anggarannya yang masih surplus 1,4 persen dari PDB saat ini mungkin defisit 6 persen. Merespons ekonominya yang melambat, pemerintah AS memotong pajak dan meningkatkan belanja negara yang setara dengan 5 persen PDB selama tiga tahun terakhir.<br />
<br />
Anggaran pemerintah Inggris yang pada tahun 2000 surplus hampir 4 persen dari PDB saat ini defisit 3 persen. Ketika puncak krisis beberapa tahun lalu, pemerintah Singapura memilih kebijakan fiskal yang ekspansif setara hampir 7 persen dari PDB.<br />
<br />
Tentu kita tidak bisa semewah itu. Setidaknya pemerintah lebih sabar, tidak terlalu berambisi menurunkan defisit dalam waktu singkat. Pemerintah sebaiknya tidak membutakan diri dari manfaat kebijakan fiskal ketika ekonomi berjalan pelan, pada saat yang sama pemerintah juga tentu tidak boleh membahayakan keberlanjutan fiskal, tetap berusaha mencapai target keseimbangan anggaran pada jangka yang lebih panjang.<br />
<br />
Tapi, apa boleh buat, sekarang APBN 2004 sudah tersaji di depan mata dan kita hanya boleh berpuas diri dengannya. Tangan kiri pemerintah, kebijakan fiskal, yang terpasung beban utang belum akan bisa digunakan menstimulasi ekonomi. Lebih sial lagi, pada saat yang sama tangan kanan pemerintah, kebijakan moneter Bank Indonesia, juga dipaku, terutama untuk menjaga kurs dan inflasi.<br />
<br />
Mudah-mudahan saja pemerintah dan DPR terpilih nanti lebih terbuka, tidak membutakan diri pada manfaat kebijakan fiskal--terutama ketika ekonomi benar-benar sangat membutuhkannya seperti saat ini. Untuk 2004, kita mungkin hanya bisa berharap ekonomi dunia segera tumbuh tinggi kembali sehingga kinerja ekspor membaik dan roda ekonomi Indonesia juga bisa berputar lebih cepat.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141204889211521802003-10-30T17:20:00.000+08:002013-10-21T15:21:03.747+08:00Siap perdagangan bebas atau tidakKoran Tempo 30/10/2003. "Kita belum siap menghadapi perjanjian perdagangan bebas (FTA)," kata Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti minggu lalu. <br />
<br />
Mengapa? Indonesia masih menunggu hasil pembicaraan lanjutan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, Desember nanti, sektor perbankan dan pasar modal perlu diperkuat, dan banyak undang-undang pendukung FTA yang perlu disiapkan. <br />
<br />
Dorodjatun mungkin menceritakan kenyataan yang sebenarnya, tapi bagaimanapun pengakuan itu tetap mengagetkan. <br />
<br />
Bagaimana tidak, kalau kita sebenarnya sudah lama terjun ke dalam arus liberalisasi perdagangan. Hambatan tarif produk pertanian yang tabu disentuh di banyak negara pun sempat dihapuskan ketika kita meminta bantuan IMF mengatasi krisis beberapa tahun lalu. <br />
<br />
Perjanjian perdagangan bebas ASEAN (AFTA) sudah berlaku efektif sejak Januari tahun ini, sebagian besar dengan tarif serendah 0-5 persen. Baru-baru ini, dalam Bali Concord II, disepakati percepatan liberalisasi perdagangan sektor jasa. Lebih jauh, ASEAN juga sedang menyiapkan FTA dengan tiga raksasa ekonomi dunia--Jepang, Cina, dan India--selambat-lambatnya dalam 10 tahun dari sekarang. <br />
<br />
Lalu, setelah terseret arus liberalisasi, apa gunanya mengatakan kita belum siap dan kemudian tak bekerja keras mematut diri? <br />
<br />
Lebih membingungkan lagi, pemerintah justru bersikap menunggu. Kata Dorodjatun, mungkin pemerintah baru hasil Pemilu 2004 yang bisa lebih menentukan FTA perlu dipercepat atau tidak. <br />
<br />
Setelah kegagalan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Cancun bulan lalu, sikap berdiam diri seperti ini makin dipertanyakan lagi. Betul, pembicaraan lanjutan akan diadakan pada Desember nanti. Tapi, di tengah pertentangan kepentingan antara negara maju dan berkembang tentang subsidi pertanian di negara maju dan isu Singapura, prospek WTO tidak terlalu menjanjikan. <br />
<br />
Karena pembicaraan WTO yang bertele-tele tak tentu arah, banyak negara yang tidak sabar dan kemudian secara sendiri-sendiri mengikat kesepakatan perdagangan bebas dengan mitra dagang utamanya. <br />
<br />
Negara-negara ASEAN pun tidak terkecuali. Sekalipun berhasil meluncurkan AFTA, segudang masalah masih mendera. Harmonisasi prosedur dan standar impor masih terbelakang. Institusi independen yang menyelesaikan pertentangan antaranggota belum ada. Mekanisme yang mengawasi aturan-aturan AFTA seperti "asal barang" tidak efektif. Hambatan perdagangan industri kesayangan masing-masing anggota, misalnya otomotif bagi Malaysia, masih dikecualikan dari percepatan penghapusan tarif. <br />
<br />
Ditimpa segudang masalah internal, secara eksternal ASEAN juga tidak kompak bagaimana membina FTA dengan negara lain. <br />
<br />
Akibatnya, Singapura misalnya sudah menandatangani bilateral FTA dengan Selandia Baru, Masyarakat Eropa, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Sederet FTA dengan negara lain seperti Meksiko, Kanada, Cina, Korea Selatan, dan India sedang dalam pembahasan. <br />
<br />
Thailand, Filipina, dan Malaysia tidak kalah agresif. Thailand misalnya membina bilateral FTA dengan Cina, India, Australia, Jepang, Peru, Meksiko, Afrika Selatan, dan Selandia Baru. Di tengah konferensi APEC di Thailand baru-baru ini, AS dan Thailand sepakat untuk segera memulai negosiasi FTA. <br />
<br />
Cina juga tidak ketinggalan. Dalam kunjungannya keliling Asia Tenggara dan Australia baru-baru ini, Presiden Hu Jintao menjajaki kemungkinan menjalin FTA dengan Australia dan Selandia Baru. <br />
<br />
Bagi negara berkembang, jalan sendiri-sendiri membina bilateral FTA sebenarnya bukan langkah mudah. Kemungkinan besar daya tawar negara maju lebih dominan sehingga FTA yang dihasilkan lebih menguntungkan negara maju. <br />
<br />
FTA antara Singapura dan AS, misalnya. Tarif impor Singapura dipangkas jadi nol dan segera diberlakukan, sedangkan AS hanya akan menurunkan sebagian besar tarifnya secara bertahap dalam delapan tahun. Tambahan lagi Singapura harus membuka industri yang selama ini didominasi pemain lokal, termasuk pasar jasa. <br />
<br />
Perlombaan FTA ini berimplikasi besar bagi Indonesia. Sementara itu, negara tetangga sibuk membina FTA dengan AS, Jepang, Cina, Australia, dan Masyarakat Eropa, Indonesia makin sulit untuk menutup mata dan tetap menyendiri. <br />
<br />
Ini makin krusial lagi kalau kita ingin ekonomi segera tumbuh 6 atau 7 persen seperti dulu. Kita tahu permintaan domestik hanya kuat memompa ekonomi 5 persen per tahun. Untuk tumbuh lebih tinggi, investasi asing dan ekspor juga harus jadi motor pertumbuhan. <br />
<br />
Tak sulit membayangkan apa yang terjadi pada ekspor dan investasi asing kalau Thailand atau Filipina menjalin FTA dengan AS, Jepang, Cina, dan Masyarakat Eropa yang juga merupakan mitra dagang dan investor utama Indonesia. Karena harus membayar tarif yang lebih tinggi, ekspor Indonesia sedikit banyak akan terhambat. Lingkungan investasi yang lebih menarik di Thailand atau Filipina sebagai konsekuensi FTA juga menjadikan Indonesia sebagai pilihan kedua negara tujuan investasi. <br />
<br />
Kembali ke komentar Dorodjatun, semua ini seharusnya menjadi lampu peringatan bagi pemerintah. Untuk tidak tenggelam di dunia yang makin kompetitif, pemerintah harus bekerja keras mereformasi ekonomi. <br />
<br />
Apalagi sebenarnya sebagian besar reformasi ekonomi yang dituntut FTA mau tak mau tetap harus kita laksanakan. Sebut saja liberalisasi investasi dan sektor jasa, perbaikan prosedur ekspor-impor, pelaksanaan UU kompetisi, atau transparansi pengadaan pemerintah. <br />
<br />
Komitmen pada perdagangan bebas tidak boleh ambivalen. Idealnya, pemerintah mengambil alih kepemimpinan dalam ASEAN untuk menegosiasikan FTA dengan mitra dagang utama sebagai sebuah kesatuan. Dengan demikian, daya tawar kita dalam negosiasi FTA akan lebih diperhitungkan. <br />
<br />
Setidaknya--terlepas dari apakah Indonesia akan menjalin FTA baru di luar AFTA atau tidak--pemerintah perlu selalu menjaga daya saing ekonomi Indonesia supaya produk ekspor kita tetap kompetitif di pasar dunia, dan ekonomi Indonesia tetap diperhitungkan sebagai tujuan investasi. <br />
<br />
Ini tentu saja perlu waktu, tak semuanya bisa dilakukan oleh kabinet ini. Tapi, yang pasti, tak masuk akal kalau pemerintah harus menunggu sampai 2005 untuk sekadar mulai memikirkan apakah FTA perlu dipercepat atau tidak.*Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7338190.post-1141204787241039582003-10-16T17:18:00.000+08:002013-10-21T15:21:30.292+08:00Lagu lama di akhir tahunKoran Tempo 16/10/2003. Tak terasa Oktober sudah, saatnya kita mendengar prediksi ekonomi tahun depan suguhan para ekonom. <br />
<br />
Lagu lama yang setiap akhir tahun dinyanyikan ulang: ekonomi belum pulih, hanya dipacu konsumsi sementara investasi jalan di tempat. Pertumbuhan rendah, mungkin hanya 4-5 persen. Pengangguran pun terus bertambah. <br />
<br />
Yang menarik, kali ini dengan aransemen baru. <br />
<br />
Nada suram pesimistis yang mewarnai prediksi akhir tahun sejak resesi 1998 tak terdengar lagi. Setidaknya tidak senyaring dulu. <br />
<br />
Mungkin para ekonom mulai melihat cahaya di ujung lorong krisis. Ekonomi memang masih berjalan pelan, belum akan tumbuh 6-7 persen seperti dulu, tapi pemulihan ekonomi setidaknya sudah tepat arah. <br />
<br />
Rasanya belum lama kita mendengar kor "pertumbuhan yang dipacu konsumsi (consumption led-growth) tidak berkelanjutan". Versi ekstremnya menakutkan, kalau investasi tak segera bangkit, Indonesia bisa masuk resesi kedua. Tahun lalu sebagian ekonom bahkan menyalakan tanda bahaya: motor konsumsi ini pun mulai kehabisan tenaga. <br />
<br />
Waktu terus berlalu, kuartal demi kuartal, tahun demi tahun, dan konsumsi tetap tegar, tumbuh sekitar 5 persen per tahun. Kalau kita beruntung seperti pada 2000, ekonomi dunia melaju cepat dan ekonomi Indonesia tumbuh hampir 5 persen. Sebaliknya kalau ekonomi dunia melambat seperti tiga tahun terakhir, ekonomi Indonesia sekadar beringsut-ingsut, tumbuh hanya 3-4 persen per tahun. <br />
<br />
Ini ketika pembentukan modal tetap bruto praktis masih jalan di tempat. <br />
<br />
Kehebatan konsumsi memacu pertumbuhan sebenarnya tak mengherankan. Secara alami, ekonomi yang baru bangkit dari resesi biasanya didorong oleh ekspansi konsumsi. Investasi menyusul belakangan, ketika aktivitas ekonomi giat kembali dan roda produksi dipacu mendekati kapasitas penuh. <br />
<br />
Konsumsi juga menjadi motor utama pemulihan ekonomi di negara yang terkena krisis lainnya seperti Thailand dan Malaysia. Bedanya, kedua negara tetangga ini bangkit lebih dulu ketika ekonomi dunia segar bugar dan sudah mulai mendapat suntikan investasi. Ekonomi Amerika Serikat selama beberapa tahun terakhir juga terselamatkan oleh konsumsi, sehingga resesi pada 2001 hanya berlangsung singkat dan ekonomi AS segera tumbuh kembali. <br />
<br />
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, peran konsumsi lebih krusial lagi karena 70 persen dari ekonomi adalah konsumsi. Konsumsi setidaknya bisa menjadi penyangga pertumbuhan kalau kinerja investasi dan ekspor-impor memburuk. <br />
<br />
Kebutuhan pokok pangan dan sandang yang mendominasi konsumsi juga membuat konsumsi lebih tahan banting sebagai motor pertumbuhan. Ekonomi boleh morat-marit, tapi makan wajib hukumnya. Kecuali konsumen tiba-tiba pesimis sekali pada prospek ekonomi, pertumbuhan konsumsi tetap bisa diandalkan. <br />
<br />
Singkatnya, ekonomi riil selama beberapa tahun terakhir sebenarnya tak banyak berubah. Prediksi ekonomi saat ini terdengar lebih merdu sebagian karena komentator tampaknya mulai berdamai dengan konsumsi dan mengapresiasi kontribusinya. Pertumbuhan yang dipacu konsumsi ternyata tak buruk, justru sangat bagus bagi ekonomi yang baru bangkit dari resesi. <br />
<br />
Tentu perkembangan impresif sisi moneter dari ekonomi juga membuat sebagian komentator berubah lebih optimistis. Inflasi turun ke 6 persen, setidaknya untuk sementara ketika dolar sedang melemah. Rupiah juga terus menguat. Sekalipun program ekonomi Dana Moneter Internasional (IMF) akan dihentikan, peringkat utang pemerintah juga membaik. <br />
<br />
Mungkin titik lemah ekonomi yang paling gampang diserang sekarang adalah investasi. Katanya, tanpa investasi, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5 persen per tahun. Pertumbuhan 6-7 persen yang sangat diperlukan untuk menyerap tambahan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran tak mungkin dicapai. <br />
<br />
Pendapat yang benar sekali, tapi masih mengandung nada sumbang. <br />
<br />
Mendengar komentar ekonomi di media massa, investasi biasanya diidentikkan dengan pembangunan pabrik, ekspansi usaha, dan pembelian mesin baru untuk meningkatkan kapasitas produksi. Nama lainnya, investasi bisnis. Lebih jauh, investasi bisnis ini disamakan dengan penanaman modal asing karena sebagian besar berasal dari luar negeri. <br />
<br />
Definisi ini akurat untuk negara maju yang investasinya memang didominasi oleh investasi bisnis. Di AS, misalnya, investasi bisnis mencapai 70 persen dari total investasi. <br />
<br />
Namun, untuk ekonomi Indonesia, definisi ini sama sekali tidak tepat. Sebagian besar investasi di Indonesia, sekitar 70 persen, adalah investasi residensial: investasi bangunan dan perumahan. Investasi bisnis hanya sekitar 15-20 persen dari investasi. Dengan porsi total investasi 20-30 persen dari ekonomi, investasi bisnis tak sampai 5 persen dari PDB. <br />
<br />
Mengapresiasi kehebatan konsumsi dan melihat investasi bisnis dengan kacamata yang lebih akurat kelihatannya sepele, tapi implikasinya sangat besar. Ini tak hanya menentukan pandangan umum ekonom dan pelaku bisnis pada prospek ekonomi, tapi juga respons kebijakan yang sebaiknya dipilih oleh pemerintah. <br />
<br />
Pertama, karena konsumsi sangat krusial bagi ekonomi Indonesia, pertumbuhannya harus dipandu secara hati-hati. Salah langkah, konsumsi bisa benar-benar melambat dan akibatnya ekonomi Indonesia bisa resesi kembali. <br />
<br />
Bank Indonesia perlu mengamati konsumsi secara cermat dan mengakomodasi pertumbuhannya dengan ekspansi pasok uang yang sepadan. Ketika inflasi rendah seperti sekarang, mungkin tak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, kalau kemudian inflasi merangkak naik, BI sebaiknya tidak gegabah membatasi pasok uang sehingga sampai menghambat ekspansi konsumsi. <br />
<br />
Kedua, karena hanya 15-20 persen dari total investasi dan sebagian kecil dari ekonomi, investasi bisnis--dan dengan demikian juga penanaman modal asing--bukan segala-galanya, bukan penentu hidup-mati ekonomi Indonesia. <br />
<br />
Penanaman modal asing memang belum bisa diharapkan sampai pemerintah memperbaiki iklim investasi untuk memenangkan kembali kepercayaan pemodal. Mengingat stempel juara korupsi yang terus menempel, ketidakpastian hukum, dan gangguan keamanan, mungkin perlu waktu lama sampai pemodal kembali berbondong-bondong ke Indonesia. <br />
<br />
Artinya, selama itu pula pemerintah dan BI perlu lebih serius mendorong pertumbuhan investasi perumahan yang merupakan bagian terbesar investasi di Indonesia. <br />
<br />
Sampai saat ini industri properti cenderung jalan di tempat. Kalau industri properti kembali tumbuh seperti sebelum resesi 1998, investasi secara keseluruhan membaik, dan ekonomi Indonesia bisa tumbuh tinggi kembali. <br />
<br />
Ketiga, dan yang paling penting, pemerintah dan BI seharusnya jadi konduktor orkestra prediksi ekonomi yang lebih positif. Peran konsumsi perlu lebih diapresiasi dalam kebijakan moneter dan fiskal, bukan justru dipandang sebelah mata. Investasi bisnis yang "hanya" 5 persen tentu tak boleh diabaikan, tapi investasi residensial yang sebenarnya jauh lebih besar dan penting bagi ekonomi Indonesia juga perlu jadi fokus utama. <br />
<br />
Siapa tahu, Oktober tahun depan, para komentator menyajikan aransemen tentang prospek ekonomi Indonesia yang tidak hanya lebih merdu dan optimistis, tapi juga lebih akurat.Rasyad A. Parindurihttp://www.blogger.com/profile/14528066707939260315noreply@blogger.com