Koran Tempo 19/06/2002. Sebagian besar ekonom adalah pencinta lingkungan. Mungkin agak mengejutkan sebagian orang, terutama kalangan environmentalis. Tapi, memang begitulah faktanya.
Beberapa tahun lalu, 2.500 lebih ekonom di Amerika Serikat menandatangani Economists' Statement on Climate Change yang merekomendasikan langkah serius untuk membatasi emisi gas berefek pemanasan global. Tidak hanya jumlahnya yang luar biasa, penandatangannya juga sangat impresif, termasuk beberapa ekonom pemenang Nobel, juga ekonom University of Chicago yang terkenal sangat propasar.
Ini bukan fenomena mutakhir. Ekonom telah berkutat dengan masalah lingkungan sejak dulu. Saat ini, environmental economics telah menjadi bagian ortodoksi ilmu ekonomi. Karena karakter lingkungan yang cenderung barang publik, ekonom sepenuhnya sadar bahwa usaha yang dilakukan individu dalam pelestarian lingkungan tidak akan optimal secara sosial sehingga intervensi pemerintah sering diperlukan.
Lalu, kalau ekonom dan environmentalis sama-sama mengaku cinta pada lingkungan, mengapa pertentangan antara keduanya begitu tajam, seperti ditulis Nurmahmudi Isma'il dalam kolom "Hutan, Ekonom, dan Environmentalis" (Koran Tempo, 5 Juni 2002 lalu?).
Kalau disederhanakan, penyebabnya adalah perbedaan filosofis bagaimana mereka mendefinisikan cinta. Perbedaan ini begitu ekstrem sehingga menurut environmentalis, cinta ekonom pada lingkungan seperti cinta gadis matre pada dompet pacarnya, sementara cinta environmentalis, menurut ekonom, cinta membabi buta.
Barangkali dosa ekonom yang paling besar adalah sikap matre ekonom yang menganggap lingkungan sebagai barang konsumsi sehingga mereka tidak ragu-ragu memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia. Dengan demikian, lingkungan tidak lepas dari analisis ilmu ekonomi, seperti analisis permintaan-penawaran. Secara prinsip, ekonom bisa menempelkan label harga pada polusi, hutan, atau binatang langka seperti halnya pada sepatu atau komputer.
Bagi umumnya environmentalis, lingkungan seharusnya dicintai setulus hati. Mereduksi lingkungan dengan nilai uang tidak saja tak bisa diterima, tapi juga mengerikan dan tak bermoral. Lingkungan tempat kita hidup adalah ibu pertiwi, tak ternilai harganya; terlalu mulia untuk disamakan dengan barang konsumsi biasa.
Menurut ekonom, lingkungan yang lestari hanyalah sebagian dari kebutuhan hidup manusia. Manusia memang sangat membutuhkannya, tapi begitu juga dengan sekian banyak produk lain yang bisa diperoleh dengan "mengorbankan" lingkungan. Sering, untuk memperoleh kondisi lingkungan seperti keinginan enviromentalis, dibutuhkan biaya yang sangat besar sehingga kalau dipaksakan bisa menurunkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Itu sebabnya, ekonom cenderung melihat masalah ini sebagai trade-off sehingga kita perlu mencari titik setimbang terbaik antara pelestarian lingkungan dan kesejahteraan. Apalagi, bagi masyarakat di negara berkembang, lingkungan masih menjadi barang mewah dan menempati prioritas yang rendah. Contoh sederhananya, saat ini sulit mengharapkan pengguna angkutan umum di Jakarta secara sukarela bersedia membayar ongkos bus kota yang lebih mahal untuk mengurangi emisi gas berefek pemanasan global.
Tidak heran kalau ekonom dan enviromentalis melihat pertumbuhan ekonomi dengan cara yang sangat berbeda. Kalau environmetalis memandang pertumbuhan ekonomi dengan curiga karena membahayakan lingkungan, ekonom umumnya melihatnya dengan mata berbinar-binar. Menurut ekonom, pertumbuhan memang merusak lingkungan, tapi kalau kerusakannya tidak terlalu parah, itu biaya yang pantas dibayar. Apalagi, paradoksnya, mungkin hanya dengan mendorong pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, masyarakat di negara berkembang pada akhirnya mampu membayar biaya pelestarian lingkungan yang tinggi seperti halnya masyarakat di negara maju saat ini.
Ekonom dan environmentalis juga berbeda pendapat tentang tingkat kerusakan lingkungan. Environmentalis cenderung pesimistis, menganggap kerusakan lingkungan sudah mencapai tingkat yang sangat berbahaya. Ekonom, di sisi lain, berpendapat bahwa lingkungan memang mengalami kerusakan, tapi dalam banyak kasus sebenarnya belum cukup banyak yang kita ketahui untuk menjatuhkan vonis yang terlalu ekstrem.
Sebagian ekonom menduga environmentalis memanipulasi statistik lingkungan sehingga kelihatannya kerusakan lingkungan sangat parah sekalipun sebenarnya belum cukup konklusif. Di samping itu, ekonom juga cenderung lebih optimistis pada kemampuan teknologi manusia masa depan untuk mengelola sumber daya alam dan kelestarian lingkungan.
Implikasi perbedaan yang kontras ini pada kebijakan sangat besar. Environmentalis cenderung pada standar lingkungan yang tinggi dan regulasi pelestarian lingkungan yang ketat oleh pemerintah. Ekonom, di sisi lain, berpendapat, regulasi yang ketat sering bukan solusi optimal karena sangat membatasi pelaku bisnis untuk menggunakan cara pengurangan polusi paling efisien.
Regulasi yang terlalu ketat juga tidak selalu berhasil karena sulit diawasi dan membatasi inovasi teknologi yang justru sangat diperlukan. Apalagi pemerintah yang korup bisa menjadi "regulator" yang terkooptasi oleh swasta sehingga justru menjadi sumber bencana pengelolaan lingkungan seperti yang terjadi pada pengelolaan hutan di Indonesia.
Jadi, kalau intervensi pemerintah potensial membahayakan lingkungan, pemerintah tidak perlu ikut campur terlalu dalam. Alternatifnya, dalam beberapa kasus, pengaturan hak properti yang lebih sempurna bisa lebih menjamin pelestarian lingkungan karena kelestarian lingkungan diinternalisasikan oleh pelaku usaha atau masyarakat.
Di samping itu, regulasi juga bisa dilengkapi dengan pendekatan berbasis pasar. Regulasi emisi gas industri, misalnya, bisa menggunakan pajak dan perdagangan emisi seperti yang telah dilakukan di beberapa negara saat ini. Dengan demikian, pelaku bisnis bisa merespons secara lebih fleksibel untuk mengaplikasikan teknologi pengolahan polusi yang sesuai dengan perusahaannya, dan pada saat yang sama pemerintah tetap mencapai target emisi gas secara agregat.
Konvergensi pandangan ekonom dan environmentalis tentu akan sangat menggembirakan. Tapi, tampaknya, sementara ini kita tidak bisa berharap banyak. Perbedaan antara keduanya masih besar. Bagi sebagian besar ekonom, membuang trade-off antara lingkungan dan kesejahteraan nyaris mustahil. Di sisi lain, environmetalis kadang masih mendewakan pelestarian lingkungan dan membuatnya seperti doktrin religius yang tidak bisa diganggu gugat.*
Recent posts
Archive
About me
.