hari penganggur

Koran Tempo 01/05/2003. Pada Hari Buruh ini ada sekelompok buruh yang sering terlupakan: penganggur.

Lihat spanduk dan poster pada unjuk rasa buruh. Semuanya menyuarakan kepentingan buruh, tapi ironisnya sebagian besar tuntutan itu bertentangan dengan kepentingan pencari kerja.

Penyebabnya adalah masalah perburuhan sangat rumit, tidak bisa diselesaikan semudah membalik telapak tangan. Setiap keputusan pemerintah tentang buruh bisa jadi menguntungkan satu pihak, tapi kemungkinan besar merugikan pihak lain. Kadang, pihak yang paling dirugikan adalah kelompok buruh yang paling lemah daya tawarnya, yaitu para penganggur. Misalnya tuntutan buruh yang paling penting, kenaikan upah minimum.

Kalau pemerintah sepakat menaikkan upah minimum secara berlipat ganda memenuhi tuntutan organisasi buruh, buruh yang saat ini bekerja tentu akan sangat senang. Dengan jam kerja yang sama mereka bisa membawa pulang gaji lebih besar.

Buruh yang bekerja menang, tapi besar kemungkinan pencari kerja akan sangat dirugikan, terutama buruh yang baru masuk angkatan kerja, yang belum punya keahlian dan pengalaman.

Menghadapi upah yang lebih tinggi, perusahaan akan cenderung mengurangi penerimaan karyawan baru. Kalaupun membuka lowongan, perusahaan terutama akan mencari tenaga kerja berpengalaman yang lebih pantas digaji dengan upah tinggi.

Akibatnya, makin banyak pencari kerja baru yang masuk perangkap setan pasar tenaga kerja. Mereka tidak bisa mendapat pekerjaan karena perusahaan hanya menerima pekerja berpengalaman. Padahal, untuk mendapat pengalaman, mereka perlu bekerja terlebih dahulu.

Kelompok buruh tak berkeahlian ini mungkin mau dibayar lebih rendah dari upah minimum. Sayangnya, kalau perusahaan tidak mau berurusan dengan protes organisasi buruh, tak banyak perusahaan yang mau menerima mereka.

Tentu saja banyak perusahaan yang membayar upah di atas upah minimum, tapi banyak juga perusahaan yang belum mampu memenuhinya. Apalagi hampir semua perusahaan formal di Indonesia adalah perusahaan kecil dan menengah yang mungkin sangat bergantung pada buruh murah untuk kompetisi. Belum lagi perusahaan informal yang menyediakan lebih dari 60 persen lapangan kerja.

Perusahaan ini tidak akan berdiam diri kalau tidak mampu membayar upah minimum yang naik berlipat ganda. Tangan mereka mungkin terikat untuk memenuhi upah minimum yang lebih tinggi, tapi tangan yang lain bebas menentukan karyawan macam apa yang diterima dan fasilitas apa yang diberikan. Pada akhirnya, pencari kerja baru yang tak berkeahlian dan tak berpengalaman kemungkinan besar akan jadi pecundang.

Kalau upah minimum terlalu tinggi, buruh yang bekerja pun sebenarnya bisa merugi dalam jangka panjang. Sekali lagi, perusahaan yang dipaksa membayar upah lebih tinggi akan cenderung mengurangi biaya tenaga kerja yang lain. Tunjangan dan fasilitas, misalnya, bisa saja dipangkas. Untuk menghemat pengeluaran, perusahaan juga mungkin mengurangi pelatihan yang sangat dibutuhkan tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitas.

Sebagian perusahaan juga lebih terdorong untuk mengganti buruh yang lebih mahal dengan mesin dan teknologi baru. Investasi teknologi baru tentu langkah yang perlu disambut gembira. Tapi kalau ini hanya respons terhadap upah buruh yang secara artifisial terlalu tinggi, masalah ekonomi kita yang paling besar, masalah pengangguran, tidak akan terpecahkan.

Melihat dampak buruk upah minimum yang terlalu tinggi, bukan berarti gaji buruh tidak perlu dinaikkan. Upah minimum saat ini masih lebih rendah dibanding kebutuhan fisik minimum. Supaya buruh hidup layak, tidak bisa tidak, upah buruh harus segera dinaikkan.

Masalahnya adalah bagaimana menaikkan upah buruh? Jawabannya hanya satu: perbesar kue ekonomi.

Pertama, upah bisa dinaikkan kalau kue ekonomi mengembang. Makin tinggi pertumbuhan ekonomi, makin cepat kue membesar, dan makin tinggi gaji bisa dinaikkan. Sebaliknya, kalau ekonomi tumbuh lambat, gaji tidak bisa dilipatgandakan begitu saja. Misalnya, kalau tahun ini ekonomi diperkirakan tumbuh 3,5-4 persen, dengan inflasi sekitar 10 persen, upah minimum mungkin hanya bisa dinaikkan 15 persen.

Untuk menaikkan upah lebih tinggi lagi, pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek pemerintah perlu mengurangi dampak kontraktif fiskal dengan menetapkan target defisit yang lebih longgar. Untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja, pemerintah juga perlu menghidupkan kembali proyek pembangunan infrastruktur yang terbengkalai akibat resesi 1998. Bank Indonesia di sisi lain perlu mengambil posisi moneter yang mengakomodasi potensi pertumbuhan.

Kedua, upah juga bisa dinaikkan kalau setiap tenaga kerja mampu menghasilkan kue lebih banyak, kalau lebih produktif. Produktivitas bisa dinaikkan dengan pelatihan tenaga kerja dan penggunaan teknologi yang lebih tinggi. Hanya saja, pada saat perlambatan ekonomi saat ini, tidak semua perusahaan mampu melakukannya.

Perusahaan tentu perlu didorong untuk investasi meningkatkan produktivitas. Akan tetapi, perusahaan kecil dan menengah yang hanya mampu menyerap tenaga kerja menganggur pada upah yang rendah sebaiknya juga jangan dihambat dengan penetapan upah minimum yang terlalu tinggi.

Ketiga, makin sedikit adonan yang terbuang, makin banyak kue yang bisa dilempar ke pasar, makin tinggi efisiensi produksi, dan makin besar gaji yang bisa dibayar perusahaan. Konon, biaya siluman yang harus dibayar pengusaha Indonesia bisa sampai 30 persen dari biaya produksi. Kalau pemerintah bisa mengurangi biaya siluman ini, potongan kue yang tersedia bagi buruh dan pengusaha akan bertambah besar sehingga gaji buruh bisa dinaikkan secara signifikan.

Setelah reformasi 1998 dicetuskan, kita sudah punya tiga presiden dan mungkin ratusan menteri, tapi sampai sekarang masalah ini belum juga terpecahkan. Kita tentu perlu menekan pemerintah untuk lebih serius mengatasi masalah ini, tapi pada saat yang sama kita juga harus realistis: sepanjang biaya siluman ini belum teratasi, gaji buruh belum bisa dinaikkan secara besar-besaran.

Anda lihat masalah perburuhan sangat kompleks. Padahal, kita baru bicara tentang kenaikan upah minimum. Sederet tuntutan buruh lainnya juga perlu segera dijawab, mulai dari kontroversi Undang-Undang Ketenagakerjaan, hak berserikat buruh yang belum sepenuhnya terjamin, keamanan lingkungan kerja, pengembangan sektor informal, sampai pada masalah klasik yang nyaris basi, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Bersama pengusaha dan organisasi buruh, pemerintah perlu menjawab semua ini. Yang tidak boleh dilupakan, apa pun keputusan pemerintah tentang tuntutan buruh pada Hari Buruh ini, pemerintah perlu benar-benar berpihak pada buruh, terutama buruh yang tidak punya perwakilan, yaitu buruh penganggur.

Kalau tidak, Hari Buruh ini hanya pantas dirayakan sebagai Hari Buruh yang Bekerja, sedangkan para penganggur hanya bisa gigit jari.*
.