Koran Tempo 30/10/2003. "Kita belum siap menghadapi perjanjian perdagangan bebas (FTA)," kata Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti minggu lalu.
Mengapa? Indonesia masih menunggu hasil pembicaraan lanjutan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, Desember nanti, sektor perbankan dan pasar modal perlu diperkuat, dan banyak undang-undang pendukung FTA yang perlu disiapkan.
Dorodjatun mungkin menceritakan kenyataan yang sebenarnya, tapi bagaimanapun pengakuan itu tetap mengagetkan.
Bagaimana tidak, kalau kita sebenarnya sudah lama terjun ke dalam arus liberalisasi perdagangan. Hambatan tarif produk pertanian yang tabu disentuh di banyak negara pun sempat dihapuskan ketika kita meminta bantuan IMF mengatasi krisis beberapa tahun lalu.
Perjanjian perdagangan bebas ASEAN (AFTA) sudah berlaku efektif sejak Januari tahun ini, sebagian besar dengan tarif serendah 0-5 persen. Baru-baru ini, dalam Bali Concord II, disepakati percepatan liberalisasi perdagangan sektor jasa. Lebih jauh, ASEAN juga sedang menyiapkan FTA dengan tiga raksasa ekonomi dunia--Jepang, Cina, dan India--selambat-lambatnya dalam 10 tahun dari sekarang.
Lalu, setelah terseret arus liberalisasi, apa gunanya mengatakan kita belum siap dan kemudian tak bekerja keras mematut diri?
Lebih membingungkan lagi, pemerintah justru bersikap menunggu. Kata Dorodjatun, mungkin pemerintah baru hasil Pemilu 2004 yang bisa lebih menentukan FTA perlu dipercepat atau tidak.
Setelah kegagalan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Cancun bulan lalu, sikap berdiam diri seperti ini makin dipertanyakan lagi. Betul, pembicaraan lanjutan akan diadakan pada Desember nanti. Tapi, di tengah pertentangan kepentingan antara negara maju dan berkembang tentang subsidi pertanian di negara maju dan isu Singapura, prospek WTO tidak terlalu menjanjikan.
Karena pembicaraan WTO yang bertele-tele tak tentu arah, banyak negara yang tidak sabar dan kemudian secara sendiri-sendiri mengikat kesepakatan perdagangan bebas dengan mitra dagang utamanya.
Negara-negara ASEAN pun tidak terkecuali. Sekalipun berhasil meluncurkan AFTA, segudang masalah masih mendera. Harmonisasi prosedur dan standar impor masih terbelakang. Institusi independen yang menyelesaikan pertentangan antaranggota belum ada. Mekanisme yang mengawasi aturan-aturan AFTA seperti "asal barang" tidak efektif. Hambatan perdagangan industri kesayangan masing-masing anggota, misalnya otomotif bagi Malaysia, masih dikecualikan dari percepatan penghapusan tarif.
Ditimpa segudang masalah internal, secara eksternal ASEAN juga tidak kompak bagaimana membina FTA dengan negara lain.
Akibatnya, Singapura misalnya sudah menandatangani bilateral FTA dengan Selandia Baru, Masyarakat Eropa, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Sederet FTA dengan negara lain seperti Meksiko, Kanada, Cina, Korea Selatan, dan India sedang dalam pembahasan.
Thailand, Filipina, dan Malaysia tidak kalah agresif. Thailand misalnya membina bilateral FTA dengan Cina, India, Australia, Jepang, Peru, Meksiko, Afrika Selatan, dan Selandia Baru. Di tengah konferensi APEC di Thailand baru-baru ini, AS dan Thailand sepakat untuk segera memulai negosiasi FTA.
Cina juga tidak ketinggalan. Dalam kunjungannya keliling Asia Tenggara dan Australia baru-baru ini, Presiden Hu Jintao menjajaki kemungkinan menjalin FTA dengan Australia dan Selandia Baru.
Bagi negara berkembang, jalan sendiri-sendiri membina bilateral FTA sebenarnya bukan langkah mudah. Kemungkinan besar daya tawar negara maju lebih dominan sehingga FTA yang dihasilkan lebih menguntungkan negara maju.
FTA antara Singapura dan AS, misalnya. Tarif impor Singapura dipangkas jadi nol dan segera diberlakukan, sedangkan AS hanya akan menurunkan sebagian besar tarifnya secara bertahap dalam delapan tahun. Tambahan lagi Singapura harus membuka industri yang selama ini didominasi pemain lokal, termasuk pasar jasa.
Perlombaan FTA ini berimplikasi besar bagi Indonesia. Sementara itu, negara tetangga sibuk membina FTA dengan AS, Jepang, Cina, Australia, dan Masyarakat Eropa, Indonesia makin sulit untuk menutup mata dan tetap menyendiri.
Ini makin krusial lagi kalau kita ingin ekonomi segera tumbuh 6 atau 7 persen seperti dulu. Kita tahu permintaan domestik hanya kuat memompa ekonomi 5 persen per tahun. Untuk tumbuh lebih tinggi, investasi asing dan ekspor juga harus jadi motor pertumbuhan.
Tak sulit membayangkan apa yang terjadi pada ekspor dan investasi asing kalau Thailand atau Filipina menjalin FTA dengan AS, Jepang, Cina, dan Masyarakat Eropa yang juga merupakan mitra dagang dan investor utama Indonesia. Karena harus membayar tarif yang lebih tinggi, ekspor Indonesia sedikit banyak akan terhambat. Lingkungan investasi yang lebih menarik di Thailand atau Filipina sebagai konsekuensi FTA juga menjadikan Indonesia sebagai pilihan kedua negara tujuan investasi.
Kembali ke komentar Dorodjatun, semua ini seharusnya menjadi lampu peringatan bagi pemerintah. Untuk tidak tenggelam di dunia yang makin kompetitif, pemerintah harus bekerja keras mereformasi ekonomi.
Apalagi sebenarnya sebagian besar reformasi ekonomi yang dituntut FTA mau tak mau tetap harus kita laksanakan. Sebut saja liberalisasi investasi dan sektor jasa, perbaikan prosedur ekspor-impor, pelaksanaan UU kompetisi, atau transparansi pengadaan pemerintah.
Komitmen pada perdagangan bebas tidak boleh ambivalen. Idealnya, pemerintah mengambil alih kepemimpinan dalam ASEAN untuk menegosiasikan FTA dengan mitra dagang utama sebagai sebuah kesatuan. Dengan demikian, daya tawar kita dalam negosiasi FTA akan lebih diperhitungkan.
Setidaknya--terlepas dari apakah Indonesia akan menjalin FTA baru di luar AFTA atau tidak--pemerintah perlu selalu menjaga daya saing ekonomi Indonesia supaya produk ekspor kita tetap kompetitif di pasar dunia, dan ekonomi Indonesia tetap diperhitungkan sebagai tujuan investasi.
Ini tentu saja perlu waktu, tak semuanya bisa dilakukan oleh kabinet ini. Tapi, yang pasti, tak masuk akal kalau pemerintah harus menunggu sampai 2005 untuk sekadar mulai memikirkan apakah FTA perlu dipercepat atau tidak.*
Recent posts
Archive
About me
.