Memperkokoh pilar perbankan

Koran Tempo 15/01/2004. Megah, gemerlap, dan ditopang pilar-pilar setebal beringin. Itulah potret tipikal kantor bank di negeri ini. Yang sebenarnya, bank rapuh seperti rumah kartu remi, salah sedikit bisa tumbang berantakan tanpa terduga.

Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan pekan lalu adalah jurus terbaru Bank Indonesia (BI) memperkokohnya. Sekilas, API memberi harapan, dengan sejumlah catatan.

Setelah pengalaman buruk krisis perbankan 1998, harapanlah yang kita butuhkan. Dan, harapan jugalah yang kita dapatkan. Semua kata indah yang bisa Anda bayangkan tentang perbankan termuat dalam kebijakan itu: perbankan yang sehat, kuat, berdaya saing, efisien.

Tak hanya itu, BI juga mengusulkan program konkret dan tegas untuk mencapainya. Targetnya, dalam 10-15 tahun, akan lahir beberapa bank berdaya saing internasional, beberapa bank beroperasi nasional, serta sejumlah bank khusus dan daerah.

Tapi, semua ini dengan catatan. Bermimpi punya perbankan yang kuat adalah satu hal, namun merancang aturan terperinci dan melaksanakannya secara konsisten sama sekali bukan pekerjaan gampang. Justru aturan terperinci dan konsistensi itulah inti pekerjaan yang sebenarnya.

Mari kita lihat beberapa program API yang paling penting. Pertama, untuk memperkuat struktur perbankan, bank diwajibkan memiliki modal paling sedikit Rp 100 miliar pada 10-15 tahun dari sekarang. Kalau tidak, bank diturunkan ke kelas BPR. Untuk jadi Bank Internasional perlu modal Rp 50 triliun. Bank Nasional butuh paling sedikit Rp 10 triliun.

Aturan ini terapi kejut bagi perbankan nasional. Sebagian besar bank saat ini adalah bank liliput dengan modal seadanya, ratusan atau bahkan hanya puluhan miliar. Kendati kecil, bank-bank ini banyak yang beroperasi secara nasional dan menawarkan produk yang hampir sama dengan bank besar seperti Mandiri atau BNI. Kalau ingin tetap beroperasi secara nasional, mereka harus menambah modal setidaknya jadi Rp 10 triliun. Bank besar seperti Mandiri dan BNI pun perlu kerja keras menambah modal puluhan triliun hingga setidaknya jadi Rp 50 triliun kalau ingin beroperasi sebagai Bank Internasional.

Kalau BI konsisten menjalankan API, bank-bank liliput ini mau tak mau harus menambah modal, dari dana segar pemilik lama maupun dengan menerbitkan saham baru di bursa. Kalau tidak, mereka perlu merger satu sama lain, atau setidaknya menerbitkan subordinated debt.

Bayangkan ini benar terjadi, sebagian harapan kita akan jadi kenyataan. Makin banyak modal suatu bank, makin besar kemampuannya untuk menyerap kerugian sehingga terhindar dari insolvency dan kebangkrutan. Makin besar modal yang disetorkan pemegang saham, makin peduli mereka mengawasi tingkah laku manajer bank.

Dengan modal puluhan triliun rupiah, beberapa Bank Internasional kita pun akan bisa bicara di tingkat regional, bersaing dengan DBS Bank-nya Singapura atau Bangkok Bank-nya Thailand. Di samping itu, BI juga akan lebih efektif mengawasi beberapa puluh bank dibanding harus memelototi seratus lebih bank kecil seperti sekarang.

Akan tetapi, seperti kata pepatah Inggris, the devil's in the detail. Pembagian kelas perbankan tentu tidak sekadar pembatasan wilayah operasi, tapi juga penentuan produk dan kegiatan yang sesuai dengan kemampuan bank menyerap risiko. Tak hanya itu, pembagian ini juga harus mencegah tumpang tindih kegiatan antarkelas yang berujung pada kompetisi tak sehat.

Masalahnya, tidak mudah memilah produk dan kegiatan keuangan apa yang boleh ditawarkan masing-masing kelas. Misalnya, apakah transaksi valuta boleh dilakukan bank nasional? Apakah hanya bank internasional yang boleh melakukan underwriting? Apa saja produk yang boleh ditawarkan bank khusus?

Kedua, BI berkomitmen untuk menjalankan Basel Accord, prinsip kehati-hatian perbankan yang dirancang oleh The Basel Committee on Banking Supervision dan diadopsi banyak negara. Pertanyaannya adalah apakah BI akan meminjam Basel Accord mentah-mentah, ataukah Basel dijalankan setelah disesuaikan dengan lingkungan ekonomi di Indonesia?

Semangat Basel Accord terbaru adalah memperluas peran informasi berbasis pasar dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Tentu tak ada yang salah dengan ini. Perhitungan CAR yang digunakan selama ini mungkin terlalu kasar sehingga bobot risiko beberapa kategori aset tidak akurat. Apalagi Basel Accord yang diberlakukan saat ini hanya mencakup risiko kredit (dari kemacetan) dan risiko pasar (surat berharga yang dimiliki bank), belum mencakup risiko operasi (mulai dari jaringan ATM mati sampai pembobolan bank).

Masalahnya adalah bagaimana mengumpankan informasi berbasis pasar ini ke dalam sistem pengawasan perbankan masih kontroversial. Basel mengusulkan penggunaan penilaian lembaga pemeringkat seperti Moody's atau Standard & Poor's. Untuk pembobotan risiko operasi, Basel juga menggunakan peringkat internal bank itu sendiri.

Sebagian besar bank di Indonesia berada di luar radar lembaga pemeringkat dunia, sedangkan kita belum punya lembaga pemeringkat yang andal. Apakah kita juga mau percaya pada penilaian risiko operasi oleh bank itu sendiri? Bagaimana mengawasi penyalahgunaannya?

Apalagi, secara umum, Basel Accord dirancang terutama untuk perbankan di negara maju dengan lingkungan bisnis lebih baik dan sistem hukum yang kuat. Lingkungan ekonomi Indonesia yang penuh korupsi dan tipu muslihat bisnis sangat berbeda dengan misalnya ekonomi Eropa atau Amerika Serikat. Kualitas pengawasan perbankan dan corporate governance kita juga payah. Sulit membayangkan Basel merupakan pengaturan dan pengawasan perbankan yang optimal bagi Indonesia.

BI tentu boleh meminjam semangat Basel, tapi Basel perlu dimodifikasi sehingga lebih sesuai dengan kondisi dan tuntutan perbankan kita saat ini.

Ketiga, BI mungkin perlu lebih serius mendorong perbankan menerbitkan subordinated debt, utang yang peringkatnya lebih rendah dibanding deposito sehingga mungkin tidak dibayar kembali seluruhnya kalau bank gagal. Ini tidak hanya untuk menambah modal perbankan, tapi juga untuk memperluas peran informasi berbasis pasar.

Manfaat subordinated debt ini sedang hangat dibicarakan. Karena pemilik subordinated debt mengalami kerugian kalau bank gagal, mereka akan terdorong untuk mengawasi bank lebih cermat. Setidaknya, karena nilainya tergantung pada pasar, premium subordinated debt ini bisa menjadi alat ukur tambahan bagi BI dan masyarakat untuk menilai kesehatan bank.

Keempat, BI akan melengkapi infrastruktur perbankan dengan biro kredit, lembaga pemeringkat kredit, dan penjaminan kredit. Ketiganya tentu sangat penting bagi industri perbankan. Lembaga pemeringkat kredit akan membantu pelaksanaan Basel Accord; penjaminan kredit memperlancar penyaluran kredit pada usaha kecil dan menengah; biro kredit akan mempermudah bank menilai kualitas kredit.

Tapi, sekali lagi, kita masih menunggu bagaimana perincian rancangan dan pelaksanaannya. Di samping itu, ada dua institusi yang tampaknya terlupakan: Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). LPS mau tidak mau akan menjadi tiang utama perlindungan tabungan masyarakat. Pendirian dan operasi OJK serta hubungannya dengan BI juga menjadi kunci pengawasan perbankan di masa depan.

Terakhir, API hanya menyinggung secara sekilas peran pemerintah. Padahal, sebagai pemilik terbesar perbankan, pemerintah akan menjadi pemain utama dan penentu keberhasilan pelaksanaan API. Di samping itu, pada akhirnya kepemilikan pemerintah di perbankan nasional perlu dikurangi, dan ini mungkin bisa dimasukkan ke dalam rencana besar arsitektur perbankan.

Ini hanya beberapa isu penting API. Jelas tergambar harapan yang ditawarkannya untuk mengubah rumah kartu remi perbankan yang rapuh menjadi sekokoh pilar beton yang menghiasi gedung kantor bank-bank kita. Hanya saja, komitmen dan pekerjaan berat menunggu BI dan pemerintah. Kalau tidak, inisiatif berani ini hanya akan jadi macan kertas, dan harapan besar kita pada API menguap di tengah jalan.*
.