Utak-atik tata niaga pupuk

Koran Tempo 13/05/2004. Pupuk langka sudah biasa. Apakah akibat tata niaga?

Kelihatannya begitu. Memang ironis: tata niaga diberlakukan untuk menjamin ketersediaan pupuk, tapi dalam beberapa tahun terakhir, mungkin justru tata niagalah biang kerok kelangkaannya.

Tata niaga pupuk telah dibongkar-pasang berkali-kali. Perkembangan terakhirnya, pada 1997 dibentuk perusahaan induk BUMN pupuk dengan Pusri memonopoli distribusi dan pemasarannya. Akhir 1998 tata niaga dibubarkan. Semua subsidi dihapus kecuali untuk penyaluran ke daerah terpencil. Pada tahun 2000 produsen kembali mendapat potongan harga gas, bahan baku utama pupuk. Setahun kemudian, tata niaga pupuk untuk tanaman pangan dan perkebunan rakyat diberlakukan lagi dengan Pusri memonopoli distribusinya.

Akhirnya, tahun lalu sekali lagi tata niaga dirombak. Kali ini produsen tetap mendapat potongan harga gas, tapi monopoli Pusri dicabut. Gantinya diterapkan rayonisasi distribusi pupuk, satu atau beberapa provinsi untuk setiap produsen. Produsen wajib memasok pupuk ke distributor sampai ke tingkat kabupaten pada harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah.

Sayangnya, apa pun bentuk tata niaganya, pupuk sering langka pada saat petani membutuhkannya. Akhir-akhir ini terutama di sebagian Sumatera Utara dan daerah Pantura.

Kalau pupuk langka, produsen sering dituding sebagai kambing hitam. Tuduhan yang masuk akal karena dulu distribusi pupuk dimonopoli Pusri, dan sekarang setiap rayon dimonopoli satu produsen.

Akan tetapi, kelangkaan terjadi sering bukan karena kurang pasokan. Faktanya, menurut PT Pupuk Kujang, pasokan pupuk di Jawa Barat, misalnya, lebih dari perkiraan kebutuhan. Penyebab utamanya adalah harga yang terlalu rendah. Pada harga eceran tertinggi Rp 1.050 per kilogram, permintaan pupuk di lapangan lebih tinggi ketimbang yang diperkirakan.

Harga rendah memicu spekulasi. Sebagian pengecer dan distributor terdorong menimbun pupuk, berharap harga pupuk naik dalam waktu dekat. Apalagi beberapa waktu lalu pasar pupuk sempat terganggu, karena gangguan pasok gas ke pabrik pupuk maupun karena kerusakan sebagian pabrik pupuk.

Dampak harga rendah ini makin parah karena distribusi pupuk diatur sangat terperinci. Secara resmi distributor hanya boleh menyalurkan pupuk bersubsidi ke pengecer terdaftar, dan pengecer pada petani, di wilayah peruntukan yang sudah ditentukan. Kalau di suatu daerah permintaan naik drastis--karena pergantian pola tanam, perubahan cuaca, atau karena penambahan penggunaan pupuk--pupuk bisa hilang dalam sekejap.

Harga pun naik. Pengecer di daerah lain secara ilegal bisa memasok kekurangan ini. Akibatnya, di wilayah operasinya sendiri pupuk jadi langka. Alhasil, kelangkaan terjadi meluas sebelum produsen yang bertanggung jawab di daerah itu menyadari apa yang terjadi.

Karena harga pupuk jauh lebih tinggi dibanding pupuk bersubsidi untuk tanaman pangan, sebagian distributor mungkin secara ilegal menjual pupuk ke perkebunan besar. Walaupun kebutuhan pupuk perkebunan besar sedikit, karena pupuk merupakan bahan baku pokok bagi petani yang sulit dikurangi, dampaknya pada harga besar. Sekali lagi, pupuk bersubsidi "menghilang" dari pasar.

Tambahan lagi, penyelundupan selalu menghalangi pelaksanaan tata niaga di negeri ini. Karena harga internasional pupuk per ton bisa US$ 50 lebih tinggi, sebagian pupuk bersubsidi mungkin secara ilegal diekspor ke luar negeri.

Di atas kertas, dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 70 Tahun 2003, tata niaga pupuk sangat ambisius. Tata niaga diatur secara mendetail, lengkap dengan sistem pengawasan antara produsen dan distributor maupun antara distributor dan pengecer. Pembelian, penjualan, dan stok pupuk dilaporkan secara rutin ke produsen atau distributor dengan tembusan ke instansi pemerintah terkait.

Di lapangan, tampaknya lain lagi ceritanya. Gambaran indah tata niaga berubah muram. Mungkin karena terlalu banyak kemungkinan penyelewengan, atau karena sangat sulit mengaudit pelaksanaan kontrak secara akurat.

Jadi, apa solusinya?

Tata niaga sekarang, subsidi gas dan rayonisasi distribusi bisa dipertahankan. Akan tetapi, supaya berhasil, persyaratannya berat: produsen, distributor, dan pengecer yang bertanggung jawab pada distribusi pupuk di suatu daerah harus bisa diaudit secara akurat dan setiap pelanggaran diberi penalti berat. Persyaratan yang mungkin mustahil dipenuhi.

Di samping itu, dalam jangka panjang, biaya tata niaga bisa sangat mahal. Industri pupuk mungkin tidak akan kompetitif karena selalu terbuai subsidi pemerintah.

Dalam setiap regulasi harga, pemerintah sulit menentukan berapa besar subsidi yang tepat. Biasanya, pemerintah kemudian terpaksa memberi subsidi yang memungkinkan produsen yang paling tak efisien mendapat laba "normal". Akibatnya, produsen paling efisien menikmati untung besar, sedangkan pabrik tak efisien yang seharusnya ditutup dibiarkan tetap hidup.

Alternatifnya, pupuk konsumsi dalam negeri tetap disubsidi, tapi rayonisasi dihapuskan. Setiap produsen boleh menjual pupuknya di mana pun kepada siapa pun pada harga eceran tertinggi. Ekspor juga diizinkan. Untuk menjaga pasokan pupuk dalam negeri dan mengurangi penyelundupan, ekspor dikenakan pajak ekspor yang sepadan.

Pelaksanaannya lebih mudah dibandingkan dengan tata niaga yang diterapkan saat ini. Tetapi, biaya subsidinya mungkin lebih besar, walaupun sebagian bisa ditutupi oleh penerimaan pajak ekspor.

Atau pemerintah bisa juga menghapuskan tata niaga dan menyerahkan perdagangan pupuk dalam negeri pada mekanisme pasar. Untuk menjamin petani kecil mampu membeli pupuk, pemerintah menyalurkan subsidi secara langsung kepada petani, misalnya lewat mekanisme jaring pengaman sosial.

Apa pun yang dipilih, pemerintah tetap terbebani subsidi. Pertanyaannya adalah sistem apa yang membutuhkan subsidi paling sedikit dan pada saat yang sama paling menjamin ketersediaan pupuk bagi petani tanaman pangan.

Jawabannya, tampaknya, bukan tata niaga yang diterapkan saat ini.*
.