Berdamai dengan inflasi

Koran Tempo 08/07/2004. Ada yang luput dari debat program ekonomi calon presiden: berapa sasaran inflasi dan bagaimana cara mencapainya? Ini bukan masalah sepele. Bukan hanya karena orang tak suka harga-harga naik, tapi juga karena sasaran inflasi adalah kunci penentu seberapa giat ekonomi menciptakan lapangan kerja.

Dalam jangka pendek ada trade-off antara inflasi dan pengangguran: penurunan inflasi menuntut pengorbanan bertahun-tahun angka pengangguran tinggi. Makin drastis Bank Indonesia menurunkan inflasi, makin besar biaya pengangguran yang harus kita bayar.

Sekarang, dengan amendemen Undang-Undang tentang BI yang baru, UU No. 3/2004, pemerintah kembali ikut menentukan sasaran inflasi dan, dengan demikian, pilihan trade-off inflasi dan pengangguran. Langkah awalnya, pekan lalu Departemen Keuangan dan BI sepakat membentuk tim pengendali inflasi yang bertugas mengusulkan sasaran inflasi selama tiga tahun mendatang. Setiap pertengahan tahun, berdasarkan rekomendasi tim yang beranggotakan Departemen Keuangan, BI, dan Badan Pusat Statistik ini, Menteri Keuangan menetapkan sasaran inflasi dan kemudian menyerahkan tanggung jawab pencapaiannya pada BI.

Sebelumnya, menurut UU No. 23/1999, BI bertugas menjaga inflasi dan hanya inflasi. Sejak itu BI pun memperketat kebijakan moneter, membatasi pasok uang, untuk menurunkan inflasi dari belasan ke sekitar 5 persen. Dampaknya pada perlambatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja tampaknya tak masuk hitungan.

Lewat tim pengendali inflasi pemerintah bisa kembali menyelaraskan sasaran inflasi BI dengan penciptaan lapangan kerja. Tentu saja kalau pemerintah mau; kalau pemerintah sepakat saat ini pengangguranlah musuh rakyat nomor satu yang harus segera dibasmi.

Hubungan trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran disebut kurva Phillips, mengambil nama ekonom yang menemukannya. Phillips menemukan, dalam jangka pendek dari tahun ke tahun, kebijakan pemerintah sering mendorong inflasi dan angka pengangguran ke arah yang berlawanan.

Penjelasan sederhananya begini: dalam jangka pendek harga-harga biasanya lamban berubah. Gaji pegawai, misalnya, naik hanya sekali setahun. Pedagang pun tak bisa setiap saat mengubah harga barang dagangannya. Kalau, misalnya, BI menyedot pasok uang untuk menurunkan inflasi, uang yang tersedia untuk jual-beli berkurang. Kalau harga-harga juga turun, tak ada masalah. Tetapi, kalau harga dan gaji tak berubah, tak cukup banyak uang tersedia untuk jual-beli seperti biasanya, transaksi ekonomi melambat, dan angka pengangguran pun meningkat.

Jadi, tak cukup kalau calon presiden hanya bicara tentang penggalakan proyek padat karya atau investasi untuk mengurangi pengangguran. Kebijakan moneter BI juga penting, dan penentu arahnya adalah sasaran inflasi.

Biaya penurunan inflasi sangat besar. Lihat misalnya, ekonomi AS pada 1980-an di bawah Paul Volcker, Gubernur The Fed waktu itu. Pada 1979 Volcker bertekad menurunkan inflasi yang waktu itu belasan persen. Inflasi akhirnya turun ke 4 persen, tapi rakyat AS harus membayar dengan angka pengangguran yang melonjak dari sekitar 5 ke hampir 11 persen selama dua tahun berikutnya dan tidak turun ke tingkat semula sampai 1988.

Pengetatan moneter BI selama ini mungkin ikut menyebabkan ekonomi tumbuh perlahan. Sejak tahun 2000 BI memperketat kebijakan moneter untuk menurunkan inflasi. Pada 2002 pertumbuhan pasok uang bahkan sempat lebih rendah daripada tingkat inflasi sehingga secara riil pasok uang menyusut. Parahnya lagi, BI memperketat kebijakan moneter pada saat kebijakan fiskal pemerintah juga kontraktif: defisit anggaran dikurangi secara tajam, begitu juga rasio utang luar negeri, sementara itu penerimaan pajak diperbesar.

Tentu kita bukan tak ingin BI menurunkan inflasi. Inflasi rendah yang stabil, sekitar 3-5 persen, bagus bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Masalahnya adalah apakah sasaran inflasi BI selama ini layak? Yang paling penting, maukah kita membayar mahal biayanya dengan pengangguran tinggi?

Sasaran inflasi tahun ini yang sekitar 5 persen, misalnya, mungkin terlalu ambisius. Bulan lalu saja inflasi tahunan sudah 6,83 persen dengan kecenderungan meningkat. Kalau BI ngotot mencapai sasaran inflasi 5 persen, kondisi moneter bisa terlalu ketat sehingga membahayakan pertumbuhan ekonomi.

Kalau pejabat BI tak mau mendapat rapor merah dari DPR, mungkin itu yang mereka lakukan. Skenario terburuknya: ekspansi ekonomi sudah terhambat, sasaran inflasi 5 persen pun tak tercapai karena ekspektasi inflasi masyarakat masih tinggi.

Ekspektasi inflasi sangat bergantung pada kredibilitas BI sebagai penjaga inflasi. Ketika BI sedang membangun kepercayaan pasar saat ini, janji inflasi 5 persen yang tak tertepati hanya mencoreng muka BI dan mengurangi efektivitas kebijakannya di masa depan.

Lagi pula, tak ada yang sepenuhnya paham bagaimana kebijakan moneter bekerja di Indonesia. Kita semua sedang belajar, BI tak terkecuali. Di tengah ketaktahuan ini, ongkos kegagalan BI sangat besar. BI pun tidak tahu pasti berapa ekspektasi inflasi. Suku bunga kredit yang belasan persen ketika bunga SBI sangat rendah mungkin mengindikasikan ekspektasi inflasi yang masih tinggi. Kita belum bicara tentang waktu yang diperlukan kebijakan moneter untuk mempengaruhi inflasi dan ekonomi, mungkin dalam hitungan tahunan. Intermediasi perbankan belum pulih. Efektivitas kebijakan moneter BI pun masih tanda tanya.

Jadi, untuk sementara, tak ada salahnya kalau kita berdamai dengan inflasi. Sebelum resesi 1998 kita sudah terbiasa dengan inflasi 8-10 persen. Investasi asing tetap mengalir dan ekonomi bisa tumbuh tinggi. Ekonomi kita yang didominasi sektor informal juga lebih tahan banting terhadap inflasi sehingga dampak buruk inflasi 10 persen masih bisa diterima.

Sekarang tim pengendali inflasi akan bekerja dan, akhir bulan ini, Menteri Keuangan akan menetapkan sasaran inflasi yang perlu dicapai BI pada 2005-2007. Pemerintahan Megawati, dan presiden terpilih September nanti, dituntut menjelaskan kepada masyarakat mengapa sasaran inflasi itu yang dipilih dan berapa biaya pengangguran yang perlu kita tanggung untuk mencapainya.

Idealnya, pemerintah cukup memanfaatkan pengangguran dan kapasitas produksi berlebih yang tinggi saat ini untuk menurunkan inflasi. Tanpa pengetatan moneter pun inflasi akan turun secara alami. Memang secara perlahan, tapi mungkin cukup menurunkan inflasi ke 3-5 persen dalam 5-10 tahun mendatang.

Ini sasaran inflasi yang sangat realistis. BI juga tak perlu mempertaruhkan kredibilitasnya dengan sasaran yang mustahil dicapai. Risiko perlambatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja pun bisa dihindari.

Inflasi boleh turun dan harga barang murah, tapi apa gunanya kalau semakin banyak penganggur tak punya uang?*
.