Hantu deindustrialisasi

Koran Tempo 05/08/2004. Industri manufaktur mati suri. Baru maju selangkah menuju negara industri berteknologi tinggi, Indonesia harus beringsut mundur, kembali jualan kayu, kopi, dan kepala sawit. Istilah kerennya: deindustrialisasi.

Itu mantera mutakhir pengamat ekonomi. Belum, kita belum terperosok ke dalamnya, baru gejalanya saja, kata Muchammad Chatib Basri. Tapi, kalau pemerintah tak turun tangan, ribuan pabrik akan mati. Atau dengar Kwik Kian Gie. Katanya, kita justru sudah masuk era deindustrialisasi. Kalau barang Cina masuk, industri manufaktur kita akan tutup semua.

Benarkah begitu? Dan apa yang perlu kita lakukan?

Akhir-akhir ini memang banyak pabrik yang tutup dan pekerja menganggur, terutama pada industri tekstil, garmen, dan sepatu. Tapi, kehilangan lapangan kerja belum bisa dikatakan terjadi secara luas dan besar-besaran di seluruh industri. Sejak resesi 1998 sampai 2002 industri manufaktur justru menyerap lebih banyak tenaga kerja, dari 11 persen lapangan kerja pada 1998 menjadi sekitar 13 persen pada 2002.

Anomali baru terjadi pada 2003: lapangan kerja industri manufaktur turun drastis, 9,7 persen, terutama pada industri sepatu. Tapi, apakah penurunan ini kecenderungan permanen atau tidak, masih perlu dilihat lebih lanjut.

Orang juga mengkhawatirkan pertumbuhan industri manufaktur yang katanya terus melambat. Sebaliknya, tiga tahun terakhir industri manufaktur tumbuh sekitar 5 persen per tahun. Pada triwulan pertama tahun ini tumbuh 5,5 persen. Indikasi perlambatan ekspansi industri manufaktur belum terlihat.

Investasi yang rendah juga sering ditunjuk sebagai pemicu deindustrialiasi. Tapi ketika pabrik masih menganggur, kapasitas produksi terpakai 60-70 persen, bagaimana kita mengharapkan investasi besar-besaran di industri manufaktur? Satu-dua tahun lagi, setelah pabrik bekerja pada kapasitas penuh, investasi mungkin saja bangkit, tapi tidak sekarang.

Entah mengapa, orang juga bilang peran produk manufaktur dalam ekspor cenderung turun. Sebaliknya, statistik ekspor bercerita lain: pada 2001-2003 pangsa produk manufaktur dalam ekspor berturut-turut 66,9, 67,5, dan 66,5 persen. Tak ada kecenderungan penurunan yang nyata di sini.

Peran industri manufaktur pada ekonomi juga tidak berkurang, untuk tidak mengatakan meningkat. Sebelum krisis industri manufaktur sekitar 22 persen dari PDB, sekarang porsinya 25 persen.

Tentu, kalau dibandingkan dengan sebelum resesi, kinerja industri manufaktur tidak memuaskan. Pertumbuhan manufaktur hanya 5 persen, tak seberapa dibanding 10 persen sebelum krisis.

Tapi, suka atau tidak, biasanya seperti itulah karakter ekonomi yang bangkit dari resesi. Sampai sekarang ekonomi belum kembali ke pertumbuhan normalnya, 6-7 persen per tahun. Tak heran kalau kemudian industri manufaktur hanya tumbuh 5 persen atau investasi belasan persen dari PDB.

Lagi pula, dibanding negara krisis lainnya, kinerja ekonomi Indonesia tiga tahun terakhir sebenarnya tak buruk. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2001-2003 yang berturut-turut 3,8, 4,3, dan 4,5 persen sepadan dengan Malaysia, Filipina, atau Korea Selatan, bahkan lebih baik dari Singapura. Di ASEAN, kita hanya lebih buruk dari Thailand, Kamboja, dan Vietnam.

Pertumbuhan industri manufaktur yang hanya 5 persen, belum 10 persen seperti dulu, bukan pengalaman unik Indonesia. Pertumbuhan industri manufaktur Malaysia, Thailand, dan Singapura juga lebih rendah dibanding dengan pertumbuhannya pada awal 1990-an.

Investasi di negara-negara krisis juga belum sepenuhnya pulih. Di Filipina, misalnya, rasio investasi terhadap PDB 17 persen, lebih rendah dari 25 persen pada 1990-an. Begitu juga dengan Thailand yang sebelum krisis rasio investasi terhadap PDB-nya 40 persen, sekarang 25 persen. Investasi asing langsung di Thailand juga kecil, di Korea Selatan bahkan negatif kembali dua tahun terakhir.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-5 persen, tapi tanpa kebijakan stimulus pemerintah Indonesia, kinerja ini cukup mengesankan. Selama ini pemerintah sibuk menurunkan defisit anggaran ke 1 persen dan Bank Indonesia repot menurunkan inflasi ke 5 persen. Anggaran pemerintah negara krisis lainnya lebih bersahabat pada pemulihan ekonomi. Malaysia atau Filipina, misalnya, sejak tahun 2000, membiarkan defisit anggaran berturut-turut 5 dan 4 persen lebih.

Singkatnya, terlalu dini dan berani mengatakan Indonesia sudah masuk era deindustrialisasi. Gejalanya pun, kalaupun ada, hanya samar-samar. Dibandingkan dengan kinerja industri manufaktur negara tetangga, terlalu buruk penilaian yang kita berikan pada industri manufaktur Indonesia.

Sekalipun begitu, tentu bukan berarti pemerintah boleh berpangku tangan. Harus kita akui, industri manufaktur kita bermasalah. Masalahnya berat dan kompleks. Sebut saja pungutan liar dan korupsi yang tak berkurang, peraturan pemerintah daerah dan pusat yang tumpang-tindih, upah minimum yang tinggi, infrastruktur yang telantar, atau perizinan yang berbelit-belit.

Makin lama pemerintah menunda penanganannya, makin besar peluang pertumbuhan ekonomi yang terbuang sia-sia, dan makin tertinggal pembangunan kita dibanding negara tetangga.

Kalangan industri juga menghadapi persaingan bisnis yang makin ketat sejalan dengan liberalisasi perdagangan. Tantangan paling besar saat ini dihadapi industri tekstil dan garmen. Pencabutan kuota impor AS dan Eropa sangat menguntungkan negara berupah murah seperti Cina dan Vietnam. Kalau tak ingin kalah bersaing, industri kita harus berinovasi dengan desain produk berteknologi lebih tinggi.

Jadi, kinerja industri manufaktur kita tidak buruk sekali. Sebagai pengamat, mari kita ceritakan apa adanya, tanpa melebih-lebihkan atau menjelek-jelekkannya. Membungkus pesan dengan istilah suram seperti deindustrialiasi mungkin bisa merebut perhatian pemerintah. Tapi meniupkan pesimisme berlebihan pada dunia bisnis bisa juga jadi bumerang dan menghapuskan harapan pemulihan ekonomi.*
.