Mengakali pemotongan subsidi

Koran Tempo 04/03/2005. Orang berakal sehat mestinya tak menentang. Kalau kemudian pemotongan subsidi BBM menuai protes, itu karena rasa keadilan masyarakat terusik, atau alasan pemerintah terkesan akal-akalan.

Mungkin Mat Solar dan Bolot terdengar sinis, tapi sulit mendebat mereka. Esensi pesan mereka benar. Setiap tahun triliunan rupiah uang pemerintah terbuang lewat knalpot sedan yang berseliweran di kota-kota. Apa tak lebih baik kalau uang itu dialihkan untuk membiayai pengobatan si miskin atau untuk membayar SPP anak tak mampu?

Mengutip Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, subsidi BBM salah sasaran. Katanya, 20 persen orang terkaya menikmati 50 sen dari setiap rupiah subsidi minyak, sementara 10 persen orang termiskin hanya menikmati 6 sen.

Besarnya pun tak main-main. Kalau harga minyak dunia tak turun, beban subsidi bisa mencapai Rp 70 triliun lebih. Itu uang yang sangat banyak--hampir dua kali lipat biaya pembangunan kembali Aceh atau lebih dari seluruh dana pembangunan kesehatan dan pendidikan tahun ini. Kalau harga minyak dalam negeri tak dinaikkan, dengan anggaran subsidi minyak tahun ini yang Rp 19 triliun, pemerintah tekor.

Masalahnya, ini baru separuh kebenaran. Pemerintah tidak mengatakan, karena harga minyak dunia meroket, pemerintah juga menerima rezeki tambahan penerimaan dari ekspor minyak bumi. Jadi, sebenarnya, sekalipun kita sekarang negara pengimpor bersih, tambahan beban akibat kenaikan harga minyak dunia tak separah yang dikesankan pemerintah.

Betul bahwa sebagian tambahan penerimaan itu dibagi dengan pemerintah daerah dan beban subsidi minyak seluruhnya ditanggung pemerintah pusat. Tapi, ketika menghadapi kesulitan bersama, apa tak mungkin kita mencari jalan tengah yang terbaik buat semua?

Entah mengapa, pemerintah mengkambinghitamkan subsidi minyak sebagai biang kerok defisit anggaran. Padahal, seperti sering dikatakan kelompok antiutang, penyelamatan bank-bank yang bangkrut pada krisis ekonomi pada 1998-lah penyebab menggelembungnya utang pemerintah dan membengkaknya defisit anggaran.

Waktu itu, di samping berutang ke IMF, pemerintah menulis surat utang ratusan triliun dan menukarnya dengan saham perbankan yang kemudian dijual murah. Nilai surat utang itu terlalu besar sehingga tak hanya mengapungkan bank yang megap-megap, tapi juga membuat mereka kelebihan modal. Tinggallah pemerintah yang setiap tahunnya membayar bunga obligasi rekap Rp 40 triliun lebih.

Kalau dulu pemerintah menyulap bank sakit jadi sehat hanya dengan secarik kertas, kenapa sekarang pemerintah tak bisa menyelamatkan anggarannya yang sakit dengan secarik kertas juga? Mengapa pemerintah tak boleh memoles laporan keuangan bank yang kelebihan modal sehingga pemerintah tak terbebani beban bunga yang berat?

Okelah, bisa dimengerti kalau sekarang rekayasa keuangan seperti ini sulit dilakukan, tak semudah dua-tiga tahun lalu ketika pemerintah masih menguasai hampir semua bank. Tapi, kalau pemerintah mau mencoba, kemungkinannya bukan tak ada.

Di samping itu, dengan rasio pajak terhadap ekonomi paling rendah di Asia Tenggara dan hanya 2 juta wajib pajak dari 200 juta penduduk, peluang peningkatan pajak untuk menutupi tambahan pengeluaran sangat besar. Pemerintah juga bisa mengenakan pajak minyak pada pemilik mobil pribadi dan generator listrik swasta untuk menutupi sebagian beban subsidi.

Sayangnya, pemerintah diam saja. Obligasi rekap tak disentuh, tawaran penangguhan pembayaran utang dari negara maju pun ditanggapi dingin, dan pajak minyak tak dipertimbangkan. Malah harga minyak dalam negeri yang dinaikkan.

Jangan salahkan kalau kemudian orang mengeluh bahwa pemerintah lebih berpihak pada konglomerat perusak ekonomi daripada rakyat kecil. Memang ini keluhan yang sarat emosi. Tapi, kalau dilihat lebih cermat, ada kebenaran di dalamnya.

Untuk mengurangi beban rakyat pemerintah hanya menjanjikan program kompensasi. Sepuluh juta anak bebas SPP, sembilan juta orang kebagian beras murah, 36 juta orang bebas berobat, dan di 27 ribu desa dibangun jalan-jembatan. Dengan tambahan dana bantuan senilai Rp 10 triliun, katanya, angka kemiskinan turun dari 16 ke 13 persen.

Bagus sekali. Tapi bagaimana pelaksanaannya? Kapan dimulai? Apakah data penerima bantuan akurat? Belum apa-apa, Sri Mulyani mengakui mungkin tak semua dana kompensasi itu tersalurkan tahun ini.

Apalagi sekarang harga beras dan gula serta ongkos angkutan sudah naik belasan atau bahkan puluhan persen. Pemerintah boleh bilang inflasi umum naik hanya 1-2 persen. Masalahnya, banyak orang yang pola pengeluarannya berbeda dengan keranjang belanja Badan Pusat Statistik. Biaya hidup buruh dan pegawai negeri rendahan di perkotaan, misalnya, mungkin bertambah belasan persen sementara gaji mereka kecil kemungkinan naiknya.

Sekalipun begitu, bukan berarti pemerintah tak perlu menaikkan harga minyak. Tak mungkin mempertahankan harga minyak serendah sekarang, seperempat harga bensin di Singapura atau setengah di Thailand. Tak masuk akal kalau seliter bensin lebih murah dari sebotol Aqua. Kita belum bicara penyelundupan, akibatnya pada pemborosan minyak, atau polusi udara.

Kritik kita adalah mengapa hanya jalan pintas pemotongan subsidi yang diambil. Mengapa cara lain tak dicoba? Dan mengapa kenaikannya langsung 29 persen, bukan secara bertahap 10-20 persen selama lima tahun mendatang?

Di negara mana pun, kejutan kenaikan harga 29 persen pada ekonomi sangat besar. Ibaratnya, mobil ekonomi Indonesia baru meluncur tancap gas, tiba-tiba di hadapannya batu-batu besar ditebarkan. Mau tak mau pelaku ekonomi terpaksa mengerem mendadak dan ekonomi yang tahun ini sebenarnya bisa tumbuh 6 persen mungkin melambat.

Apalagi respons Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tak bisa diharapkan. BI sudah khawatir target inflasi meleset dan berancang-ancang menaikkan suku bunga SBI. Suku bunga kredit bisa kembali naik dan investasi yang baru tumbuh mungkin terhambat.

Menteri Keuangan kita yang antidefisit ingin segera mencapai anggaran berimbang, sekalipun ongkosnya angka pengangguran yang tinggi. Padahal apa salahnya defisit sedikit lebih tinggi untuk sementara? Bukannya kita mau berfoya-foya membangun proyek mercusuar, karena terpaksa saja ingin menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah hantaman kenaikan harga minyak dunia.

Singkatnya, pemotongan subsidi minyak bukan masalah ekonomi semata, tapi juga masalah rasa keadilan masyarakat. Dari kacamata ekonomi pun, subsidi minyak seharusnya bisa dikurangi secara bertahap sehingga dampak buruknya minimal, juga bisa dijelaskan lebih jujur sehingga tak memancing kecaman.

Sekarang harga minyak telanjur dinaikkan. Tugas pemerintah meminimalkan tanggungan rakyat. Kalau boleh meminta, jangan abaikan rasa keadilan masyarakat. Tunjukkan bahwa pemerintah berusaha keras. Ini satu-satunya pilihan waras saat ini.*
.